Bab 1. Dasar-Dasar Matematika untuk Faraid
Bab 2. Dasar-Dasar Faraid
Bab 3. Pembagian Waris Untuk Ashhabul Furudh
Bab 4. Macam-Macam Ashabah
Bab 5. Al-’Aul dan Ar-Radd
Bab 6. Hak Waris Kakek Dan Saudara
Bab 7. Munasakhat dan At-Takharuj min at-Tarikah
Bab 8. Hak Waris Dzawil Arham
Bab 9. Hak Waris Banci
Bab 10. Hak Waris Janin
Bab 11. Hak Waris Anak Hasil Zina dan Anak Lian
Bab 12. Hak Waris Orang yang Hilang dan Tertawan
Bab 13. Hak Waris Orang yang Mengalami Kematian Bersama
Bab 14. Beberapa Pertanyaan Seputar Harta Warisan
Daftar Pustaka
Dasar-Dasar Matematika untuk Faraid
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Operasi Matematika Dasar
- Mengenal Angka
- Penjumlahan
- Pengurangan
- Perkalian
- Pembagian
- Penggabungan Operasi Matematika
• Operasi Bilangan Pecahan
- Penjumlahan Bilangan Pecahan
- Pengurangan Bilangan Pecahan
- Perkalian Bilangan Pecahan
- Pembagian Bilangan Pecahan
- Gabungan Operasi Matematika pada Bilangan Pecahan
• Pembulatan Terkecil pada Bilangan Pecahan
• Contoh-contoh Soal dan Jawabannya
Dasar-dasar matematika ini sengaja saya sertakan pada pelajaran ilmu faraid, disebabkan hampir sebagian besar perhitungan warisan ini memerlukan pengetahuan dasar akan ilmu matematika. Mungkin diantara pembaca sudah banyak yang mengenal dan memahami dasar matematika yang akan dibahas ini, namun bagi pembaca yang belum memahami matematika dasar, atau mungkin sudah lupa karena memang pelajaran matematika ini dipelajari ketika kita masih di SD (sekolah dasar) dulu, maka Insya Allah pembahasan dasar-dasar matematika ini akan berguna untuk dipelajari kembali sebagai pengingat kita.
Dasar-dasar matematika untuk faraid ini saya bagi menjadi dua bahasan utama, yaitu:
- Operasi Matematika Dasar
- Operasi Bilangan Pecahan
Operasi Matematika Dasar
Pada pembahasan operasi matematika dasar ini, saya membagi lagi menjadi beberapa sub bahasan sebagai berikut:
- Mengenal Angka
- Penjumlahan
- Pengurangan
- Perkalian
- Pembagian
- Penggabungan Operasi Matematika
Mengenal Angka
Angka adalah suatu nilai atau object utama dalam suatu perhitungan, dimana tanpa angka ini tidak mungkin terjadi suatu operasi matematika. Terdapat sepuluh angka dasar yang wajib diketahui, yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Maha Suci Allah dan Maha Besar Allah, dari sepuluh angka-angka inilah dapat terjadi suatu operasi matematika yang sangat kompleks. Dari sepuluh angka-angka ini dapat terwujud menjadi bilangan positi, negatif, pecahan atau desimal, nilai uang, dan lain sebagainya.
Penjumlahan
Penjumlahan merupakan operasi matematika yang menjumlahkan suatu angka dengan angka lainnya sehingga menghasilkan nilai tertentu yang pasti. Simbol untuk operasi penjumlahan adalah tanda plus ( + ).
Contoh:
3 + 7 = 10
Pengurangan
Pengurangan merupakan operasi matematika yang mengurangkan suatu angka dengan angka lainnya sehingga menghasilkan nilai tertentu yang pasti. Simbol untuk operasi pengurangan adalah tanda minus ( - ).
Contoh:
11 – 1 = 10
Perkalian
Perkalian merupakan operasi matematika yang mengalikan suatu angka dengan angka lainnya sehingga menghasilkan nilai tertentu yang pasti. Simbol untuk operasi perkalian adalah tanda silang ( x ).
Contoh:
2 x 5 = 10
Pembagian
Pembagian merupakan operasi matematika yang membagi suatu angka dengan angka lainnya sehingga menghasilkan nilai tertentu yang pasti. Simbol untuk operasi pembagian adalah tanda titik dua ( : ) atau ( ÷ ). Selain tanda titik dua, seringkali operasi pembagian ini menggunakan simbol garis miring ( / ) atau garis tengah ( _ ).
Contoh:
100 : 10 = 10
100 ÷ 10 = 10
100 / 10 = 10
Penggabungan Operasi Matematika
Selain ke empat operasi matematika diatas (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian), terdapat pula operasi matematika lainnya yang juga umum dilakukan, yaitu penggabungan dari ke empat operasi matematika tersebut. Operasi matematika jenis ini harus mengikuti persyaratan sebagai berikut:
1. Operasi matematika yang perhitungannya didahulukan adalah operasi matematika yang diawali dengan tanda kurung buka “(“ dan dan diakhiri dengan tanda kurung tutup “)”, dimana diawali dengan tanda kurung yang terletak di bilangan yang paling dalam.
2. Kemudian setelah itu operasi perkalian dan pembagian, dengan urutan dari paling awal atau dari kiri ke kanan.
3. Kemudian yang terakhir adalah operasi penjumlahan dan pengurangan, dengan urutan dari paling awal atau dari kiri ke kanan.
Contoh:
Berapakah hasil dari operasi matematika sebagai berikut: 1 + 2 × (3 + (5 - 1)) : 7 – 2 ?
Jawaban:
= 1 + 2 × (3 + (5 - 1)) : 7 – 2
= 1 + 2 × (3 + 4) : 7 – 2
= 1 + 2 × 7 : 7 – 2
= 1 + 14 : 7 – 2
= 1 + 2 – 2
= 3 – 2
= 1
Operasi Bilangan Pecahan
Bilangan pecahan merupakan bilangan yang terdiri dari dua bagian angka, yaitu angka sebagai pembilang (numerator) dan angka sebagai pembagi (denominator) dimana kedua bagian angka ini dipisahkan dengan simbol garis miring ( / ). Didalam ilmu faraid, pembagi ini seringkali disebut sebagai asal masalah atau pokok masalah. Format penulisan bilangan pecahan adalah sebagai berikut : A/B , dimana “A” adalah pembilang dan “B” adalah pembagi. Terkadang format penulisan ini menggunakan tanda garis bawah ( _ ), seperti:
Cara membaca bilangan pecahan ini adalah dengan menggunakan kata “per”, jadi bilangan pecahan pada contoh diatas dibaca “A per B”. Khusus untuk nilai pembilangnya 1, maka umumnya dibaca dengan kata depan “seper”. Jadi jika ada bilangan pecahan “1/3” maka ia dapat dibaca “sepertiga” atau bisa juga dibaca “satu per tiga”. Juga khusus untuk bilangan pecahan 1/2, selain dapat dibaca dengan kata “seperdua” atau “satu per dua”, seringkali ia dibaca juga dengan kata “separo”, “separuh”, atau “setengah”.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah bilangan pecahan ini sebenarnya menggunakan operasi matematika pembagian sebagaimana yang sudah saya bahas pada sub bab sebelumnya. Jadi jika ada bilangan pecahan 4/2 maka hasilnya adalah 2 karena 4 : 2 = 2. Lalu mengapa bilangan pecahan disini tidak langsung ditulis saja dengan tanda titik dua (:) ? Sebenarnya hal ini tidak mengapa jika hendak ditulis demikian, namun penggunaan simbol titik dua ini umumnya digunakan untuk operasi matematika yang memerlukan hasil langsung, sedangkan bilangan pecahan tidak bersifat demikian, karena ia umumnya digunakan untuk dikalkulasi atau dihitung dengan operasi matematika lainnya. Contoh, jika ada bilangan pecahan 1/2 maka kita tidak perlu membagi dahulu secara langsung nilai 1 dengan nilai 2, cukup ditulis saja 1/2 , kelak ia akan berguna ketika disertakan didalam operasi matematika lainnya, atau bisa juga diterapkan untuk mengetahui bagian tertentu dari suatu object.
Contoh, 1/2 bagian dari sebuah persegi empat adalah sebagai berikut:
Contoh lainnya, 1/3 bagian dari sebuah lingkaran adalah sebagai berikut:
Terdapat lima operasi bilangan pecahan yang umum dilakukan, yaitu:
- Penjumlahan Bilangan Pecahan
- Pengurangan Bilangan Pecahan
- Perkalian Bilangan Pecahan
- Pembagian Bilangan Pecahan
- Gabungan Operasi Matematika pada Bilangan Pecahan
Penjumlahan Bilangan Pecahan
Dalam menjumlahkan bilangan pecahan, maka semua pembagi nya harus bernilai sama dahulu. Jika pembaginya tidak bernilai sama, maka harus menggunakan nilai pembagi baru yang dapat dibagi oleh semua pembagi awal tanpa menghasilkan sisa. Untuk menyamakan pembagi baru ini, harap menggunakan kelipatan persekutuan terkecil (KPK), yaitu nilai terkecil yang dapat digunakan untuk mengalikan pembagi awal, sehingga didapatkan pembagi baru terkecil yang dapat dibagi oleh semua pembagi awal yang ada tanpa sisa. Contoh, ketika terdapat dua pembagi, pembagi yang satu bernilai 9, dan pembagi yang lain bernilai 6, dimana kedua bilangan pecahan tersebut hendak dijumlahkan, maka pembagi baru yang dapat digunakan adalah 18, karena angka 18 merupakan nilai terkecil yang dapat dibagi oleh angka 9 dan dapat juga dibagi oleh angka 6 tanpa ada sisa.
18 : 9 = 2 (tanpa ada sisa)
18 : 6 = 3 (tanpa ada sisa)
Angka 2 dan 3 pada contoh diatas adalah yang disebut sebagai faktor pengali. Ketika menyamakan nilai pembagi, maka semua pembilang dan pembagi pun harus di kalikan nilainya dengan faktor pengali ini. Agar lebih mudah dalam memahami pengertian ini, sebaiknya kita fahami contoh-contoh berikut ini:
- Berapakah hasil dari 1/2 + 5/2 ?
Karena masing-masing pembaginya mempunyai nilai yang sama, yaitu 2, maka dapat langsung dijumlahkan. Hasilnya:
- Berapakah hasil dari 1/2 + 2/3 ?
Karena masing-masing pembaginya mempunyai nilai yang berbeda, yaitu 2 dan 3, maka kedua bilangan pecahan ini tidak dapat langsung dijumlahkan sebelum pembaginya disamakan. Nilai terkecil yang dapat dibagi dengan 2 dan 3 adalah 6, dengan demikian nilai 6 ini digunakan sebagai pembagi yang baru. Caranya adalah sebagai berikut:
Perhatikan angka 3 sebagai faktor pengali pada bilangan pecahan yang pertama. Angka 3 ini didapat dari nilai 6 dibagi pembaginya (6 : 2 = 3). Begitu juga angka 2 sebagai faktor pengali bilangan pecahan yang kedua, didapat dari nilai 6 dibagi pembaginya (6 : 3 = 2).
Pengurangan Bilangan Pecahan
Sebagaimana dalam menjumlahkan bilangan pecahan, maka dalam mengurangkan bilangan pecahan pun semua pembagi nya harus bernilai sama dahulu. Caranya sama persis sebagaimana pada penjumlahan bilangan pecahan. Contoh:
- Berapakah hasil dari 5/2 - 1/2 ?
Karena masing-masing pembaginya mempunyai nilai yang sama, yaitu 2, maka dapat langsung dikurangkan. Hasilnya:
- Berapakah hasil dari 2/3 - 1/2 ?
Karena masing-masing pembaginya mempunyai nilai yang berbeda, yaitu 2 dan 3, maka kedua bilangan pecahan ini tidak dapat langsung dikurangkan sebelum pembaginya disamakan. Nilai terkecil yang dapat dibagi dengan 2 dan 3 adalah 6, dengan demikian nilai 6 ini digunakan sebagai pembagi yang baru. Caranya adalah sebagai berikut:
Perkalian Bilangan Pecahan
Dalam mengalikan bilangan pecahan, maka semua pembilang dan pembaginya harus dikalikan secara searah, yaitu pembilang yang satu dikalikan dengan pembilang yang lain serta pembagi yang satu dikalikan dengan pembagi yang lain. Tidak seperti pada penjumlahan dan pengurangan, nilai pembagi tidak perlu bernilai sama dahulu. Contoh:
- Berapakah hasil dari 1/2 x 5/2 ?
- Berapakah hasil dari 1/2 x 2/3 x 5/2 ?
Pembagian Bilangan Pecahan
Dalam membagi bilangan pecahan, maka semua pembilang dan pembaginya harus dikalikan secara bersilangan (dibalik), yaitu pembilang yang satu dikalikan dengan pembagi yang lain serta pembagi yang satu dikalikan dengan pembilang yang lain. Contoh:
- Berapakah hasil dari 1/2 : 5/2 ?
- Berapakah hasil dari 1/2 : 2/3 : 5/2 ?
Gabungan Operasi Matematika pada Bilangan Pecahan
Selain ke empat operasi matematika pada bilangan pecahan diatas (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian), terdapat pula operasi matematika pada bilangan pecahan lainnya yang juga umum dilakukan, yaitu penggabungan dari keempat operasi matematika tersebut.
Contoh:
Berapakah hasil dari operasi matematika sebagai berikut:
Jawaban:
Pembulatan Terkecil pada Bilangan Pecahan
Pembulatan terkecil diperlukan untuk menyederhanakan penulisan bilangan pecahan, sehingga didapatkan nilai terkecil dari pembilang dan pembaginya. Dalam membulatkan bilangan pecahan harus menggunakan faktor pembagi, yaitu nilai yang digunakan untuk membagi pembilang dan pembagi agar didapat nilai yang paling kecil. Faktor pembagi untuk pembilang dan pembagi harus sama nilainya.
Contoh:
Berapakah pembulatan terkecil dari bilangan-bilangan pecahan berikut ini:
a.
b.
c.
d.
e.
Jawaban:
a.
b. Karena pembilang dan pembagi mempunyai nilai yang sama. Ingat, 12 : 12 = 1.
c. Sudah merupakan bilangan bulat pecahan yang terkecil.
d.
e.
Perhatikan jawaban pada no.e diatas. Karena pembilang mempunyai nilai yang lebih besar dari pembaginya, maka cara membulatkannya adalah harus mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Carilah angka terdekat dengan angka 33 yang dapat habis dibagi dengan angka 5. Maka kita akan mendapati angka tersebut adalah angka 30.
2. Bagilah angka 30 dengan angka 5, maka hasilnya 6. Ingat, 30 : 5 = 6.
3. Simpan angka 6 tersebut diawal dan dipertengahan bilangan pecahan.
4. Kemudian kurangkan angka 33 diatas dengan angka 30, maka hasilnya adalah 3. Simpanlah angka 3 ini sebagai pembilang yang baru.
5. Untuk pembagi tidak boleh dirubah, yaitu tetap menggunakan angka 5 sebagaimana pada pembagi awal.
6. Maka hasil dari adalah atau bisa juga ditulis dengan 6 3/5.
Contoh-contoh Soal dan Jawabannya
Contoh 1
Hitunglah hasil dari operasi matematika pada bilangan pecahan berikut ini:
Jawaban:
Contoh 2
Hitunglah hasil dari operasi matematika pada bilangan pecahan berikut ini:
Jawaban:
Contoh 3
Samakah masing-masing bilangan pecahan ini dengan pasangan disebelah kanannya?
a. 1/2 dan 2/4
b. 3/6 dan 521/1042
c. 3/7 dan 18/42
d. 2/4 dan 13/20
Jawaban:
a. 1/2 dan 2/4 adalah sama saja, karena 1/2 : 2/4 = 1
b. 3/6 dan 521/1042 adalah sama saja, karena 3/6 : 521/1042 = 1
c. 3/7 dan 18/42 adalah sama saja, karena 3/7 : 18/42 = 1
d. 2/4 dan 13/20 adalah tidak sama, karena 2/4 : 13/20 tidak sama dengan 1
Contoh 4
a. Berapakah 1/2 dari 1000?
b. Berapakah 1/3 dari 900?
c. Berapakah 1/4 dari 1/2?
Jawaban:
a. 1/2 x 1000 = 500
b. 1/3 x 900 = 300
c. 1/4 x 1/2 = 1/8
Contoh 5
Manakah dari bilangan-bilangan pecahan ini yang paling besar nilainya?
a. 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, 2/3?
b. 10/48, 15/54, 3/18?
c. 4/30, 6/54, 3/18?
Jawaban:
Untuk mencari nilai yang terbesar diantara beberapa bilangan pecahan, maka pembagi harus disamakan dahulu pada semua bilangan pecahan tersebut. Untuk menyamakan pembagi ini, dapat menggunakan dua cara, yakni:
1. Dengan cara menyederhanakan setiap pembilang dan pembagi dari seluruh bilangan pecahan yang ada, kemudian dicari KPK nya, yaitu nilai terkecil yang digunakan untuk mengalikan pembagi awal, sehingga didapatkan pembagi baru terkecil yang dapat dibagi oleh semua pembagi awal yang ada tanpa sisa. Cara pertama ini dilakukan jika pembagi dari bilangan pecahan tersebut nilainya kecil-kecil, sehingga lebih mudah dalam mencari nilai pembagi yang baru.
2. Dengan cara menyederhanakan setiap pembilang dan pembagi dari seluruh bilangan pecahan yang ada, kemudian mengalikan antara pembagi satu dengan pembagi lainnya dari seluruh bilangan pecahan yang ada. Cara ini dilakukan manakala nilai pembagi besar-besar.
Marilah kita coba jawab pertanyaan-nya sebagai berikut:
a. Berhubung nilai pembagi pada kecil-kecil, maka kita dapat menggunakan cara pertama.
= 1/2 1/3 1/4 1/6 1/8 2/3
= 12/24 8/24 6/24 4/24 3/24 16/24
=> Maka didapatkan, nilai yang terbesar adalah 2/3.
b. = 10/48 15/54 3/18
= 5/24 5/18 1/6
=> Maka disini kita dapat menggunakan cara pertama.
= 15/72 20/72 12/72
=> Maka didapatkan, nilai yang terbesar adalah 15/54.
c. = 4/30 6/54 3/18
= 2/15 1/9 1/6
=> Maka disini kita dapat menggunakan cara kedua.
= 108/810 90/810 135/810
=> Maka didapatkan, nilai yang terbesar adalah 3/18.
Dasar-Dasar Faraid
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Sumber Hukum Ilmu Faraid
• Sumber Hukum dari Al-Qur’an
• Penjelasan ayat-ayat waris
- Hukum Bagian Waris untuk Anak
- Hukum Bagian Waris untuk Orang Tua
- Hukum Bagian Waris untuk Suami atau Istri
- Hukum Bagian Waris untuk Saudara Seibu Lain Ayah
- Hukum Bagian Waris untuk Saudara Sekandung atau Seayah
• Sumber Hukum dari Hadits Rasulullah
• Sumber Hukum dari Ijma’ para Sahabat dan Ulama
• Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
• Rukun-rukun Waris
• Hak-hak yang berkaitan dengan Pewaris
- Biaya untuk Keperluan Pemakaman Pewaris
- Hutang Pewaris
- Menunaikan Wasiat Pewaris
• Syarat-syarat Waris
• Sebab-sebab Mendapatkan Hak Waris
• Penggugur Hak Waris
• Ahli Waris Laki-Laki dan Perempuan Menurut Ijma’ para Ulama
- Ahli Waris Laki-laki
- Ahli Waris Perempuan
• Dalil-Dalil yang Menetapkan Ahli Waris Laki-laki dan Perempuan
- Dalil-Dalil yang Menetapkan Ahli Waris Laki-laki
- Dalil-Dalil yang Menetapkan Ahli Waris Perempuan
• Pengelompokan Ahli Waris
- Kelompok Ashhabul Furudh
- Kelompok Ashabah
- Kelompok Ashhabul Furudh atau Ashabah
- Kelompok Ashhabul Furudh dan Ashabah
• Bentuk-bentuk Waris
• Penghalang Hak Waris (al-Hajb)
- Macam-macam al-Hajb
- Ahli Waris yang Tidak Terkena Hajb Hirman
- Ahli Waris yang Dapat Terkena Hajb Hirman
- Kaidah-Kaidah yang Berlaku dalam Hajb Hirman
- Pengelompokan Hajb Hirman
• Pembagi
• Tashih
• Contoh-contoh Soal dan Jawabannya
Sumber Hukum Ilmu Faraid
Sumber hukum untuk ilmu faraid ini diambil dari tiga sumber, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. Hadits Rasulullah
3. Ijma’ para sahabat dan ulama
Satu hal yang harus diperhatikan bahwa tidak ada ijtihad dan qiyas di dalam ilmu faraid, kecuali jika ia telah menjadi kesepakatan atau ijma’ para ulama.
Sumber Hukum dari Al-Qur’an
Sumber hukum utama untuk perhitungan waris dari Al-Qur’an terdapat pada tiga ayat dalam surat yang sama, yaitu ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisaa’. Ayat-ayat inilah yang disebut sebagai ayat-ayat waris. Jika ingin cepat dalam mempelajari dan memahami ilmu faraid, maka saya menganjurkan agar kita menghafal dahulu ayat-ayat ini, minimal terjemahannya dan lebih utama dengan teks arabnya, karena sumber hukum utama pembagian waris berdasarkan ketetapan-ketetapan yang terdapat pada ayat-ayat ini. Ayat-ayat waris ini adalah sebagai berikut:
- "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh seperdua (dari) harta (yang ditinggalkannya). Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Q.S. an-Nisaa' - 11)
- "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (Q.S. an-Nisaa' - 12)
- "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Q.S. an-Nisaa' - 176)
Penjelasan ayat-ayat waris
Setelah membaca ayat-ayat waris diatas, maka terdapat lima hukum bagian waris yang sudah ditetapkan Allah secara jelas di dalam Al-Qur’an, berikut dengan kondisi-kondisinya yang mungkin terjadi, yaitu:
- Hukum bagian waris untuk anak
- Hukum bagian waris untuk orang tua
- Hukum bagian waris untuk suami atau istri
- Hukum bagian waris untuk saudara seibu lain ayah
- Hukum bagian waris untuk saudara sekandung atau seayah
Untuk lebih jelasnya, saya sertakan diagram hubungan antara pewaris dan ahli waris sebagaimana yang sudah Al-Qur’an jelaskan pada gambar sebagai berikut:
Hukum Bagian Waris untuk Anak
Dari firman Allah yang artinya "bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh seperdua (dari) harta (yang ditinggalkannya)" dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:
1. Apabila pewaris hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian. Atau bisa juga langsung menggunakan format bilangan pecahan, yaitu anak laki-laki mendapat 2/3 bagian, sedangkan anak perempuan mendapatkan 1/3 bagian.
2. Apabila jumlah anak lebih dari satu, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk anak laki-laki adalah dua kali bagian untuk anak perempuan. Dengan kata lain, pembagian seorang anak laki-laki diibaratkan/diumpamakan dengan dua orang anak perempuan, sehingga jika jumlah anak laki-laki ada 2 orang dan jumlah anak perempuan ada 4 orang, maka pewaris seakan-akan memiliki 8 orang anak perempuan, dimana jumlah 8 orang ini didapat dari:
(2 anak laki-laki x 2) + 4 anak perempuan = 8. Harap diperhatikan bahwa pada kondisi seperti ini tidak boleh menetapkan bahwa bagian anak laki-laki bersekutu di dalam 2/3 bagian dan bagian anak perempuan bersekutu di dalam 1/3 bagian, karena ketentuan ini hanya berlaku pada no.1 diatas, yaitu jika anak laki-laki dan anak perempuan masing-masing hanya berjumlah 1 orang saja.
3. Apabila jumlah anak lebih dari satu, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, dan selain itu terdapat juga ahli waris lainnya yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara tetap, yakni suami atau istri, ayah dan ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah mereka, bukan anak-anak dahulu yang diberi, karena Al-Qur’an telah menetapkan hak bagian mereka secara tetap. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada (setelah dibagikan kepada mereka), dibagikan kepada anak, yaitu dengan ketentuan bagian untuk anak laki-laki adalah dua kali bagian untuk anak perempuan.
4. Apabila pewaris hanya meninggalkan anak-anak perempuan saja, dengan jumlah anak perempuan lebih dari seorang, maka mereka mendapat 2/3 bagian, dimana mereka bersekutu di dalam 2/3 bagian tersebut, yakni dibagi sama rata sesuai dengan jumlah anak perempuan tersebut. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kalimat "fauqats-nataini" pada ayat 11 surat an-Nisaa’ ini bukanlah diartikan secara langsung “anak perempuan lebih dari dua”, melainkan “dua anak perempuan atau lebih”, hal ini merupakan kesepakatan (ijma’) para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang memberitahukan keputusan Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' ra. sebagaimana yang akan saya sampaikan pada bahasan setelah ini (silahkan lihat sub bab “Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris” di dalam bab ini). Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat “itsnataini” adalah “dua anak perempuan atau lebih”. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah “anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi hadits Rasulullah dan ijma' para ulama.
5. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang anak perempuan saja, tanpa anak laki-laki, maka ia mendapatkan seperdua (1/2) bagian dari harta peninggalan pewaris.
6. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang anak laki-laki saja, maka anak tersebut mewarisi seluruh sisa harta peninggalan yang ada, tentunya setelah dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris lainnya yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara tetap, yakni suami atau istri, ayah dan ibu. Namun jika bersama anak laki-laki tersebut tidak ada ahli waris lainnya yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara tetap, maka ia mendapatkan seluruh harta warisan yang ada. Meskipun ayat yang ada tidak secara tegas menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat “bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” menunjukkan bahwa bagian seorang anak laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat “jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh seperdua harta”. Maka dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
7. Adapun bagian untuk keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), maka jumlah bagian mereka adalah sama seperti anak, dengan syarat tidak ada anak pewaris yang masih hidup (misalnya meninggal terlebih dahulu) dan mereka harus berasal dari pokok yang laki-laki dengan tidak diselingi oleh pokok yang perempuan, misalnya cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup seluruh keturunan anak kandung, termasuk cucu, cicit dan seterusnya dengan syarat tidak ada ahli waris diatas mereka yang masih hidup, dan tidak terselingi oleh pokok yang perempuan. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma' para ulama.
Hukum Bagian Waris untuk Orang Tua
Dari firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam." dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:
1. Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila pewaris mempunyai keturunan. Keturunan ini mencakup anak dan keturunannya, yaitu keturunan dari anak yang laki-laki, yakni cucu, cicit dan seterusnya kebawah, asalkan pokok mereka tidak tercampur dengan unsur perempuan.
2. Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi pengertiannya adalah bahwa sisanya merupakan bagian ayah.
3. Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai beberapa saudara, baik saudara sekandung, seayah maupun seibu dengan jumlah saudara lebih dari satu orang (dua orang atau lebih), dimana pewaris tidak meninggalkan keturunan, maka ibunya mendapat seperenam bagian. Ini adalah pengertian dari ayat “jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam”. Sedangkan ayah mendapatkan sisanya, yaitu lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dinyatakan sebagai hajb (penghalang).
4. Jika selain kedua orang tua, pewaris hanya mempunyai seorang saudara, baik saudara sekandung, seayah maupun seibu dengan jumlah saudara tersebut hanya satu orang saja, dimana pewaris tidak meninggalkan keturunan, maka ibunya mendapat sepertiga bagian. Sedangkan ayah mendapatkan sisanya, yaitu dua per tiga. Ini adalah pengertian dari ayat “jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga” Adapun saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dinyatakan sebagai hajb (penghalang).
Hukum Bagian Waris untuk Suami atau Istri
Dari firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu." dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:
Untuk Suami:
1. Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan, maka suami mendapat bagian seperdua dari harta yang ditinggalkan istrinya.
2. Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan, maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
Yang dimaksud keturunan istri di atas adalah semua anak istri, cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, baik berasal dari suami yang terakhir, maupun yang berasal dari suami-suami nya yang sebelumnya.
Untuk Istri:
1. Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai keturunan, maka bagian istri adalah seperempat.
2. Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai keturunan, maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Yang dimaksud dengan keturunan suami di atas adalah semua anak suami, cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, baik yang berasal dari seluruh istri-istri nya, baik yang masih menjadi istrinya maupun yang sudah bercerai atau meninggal.
Hukum Bagian Waris untuk Saudara Seibu Lain Ayah
Dari firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris)." dapat dijelaskan hukum-hukumnya sebagai berikut:
1. Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam. Harap diperhatikan, yang dimaksud dengan kalimat ini adalah bukan mempunyai dua orang saudara seibu, tapi hanya mempunyai satu orang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan, bagian mereka sama saja, yaitu 1/6 bagian.
2. Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dengan jumlah dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, maka mereka mendapatkan satu per tiga (1/3) bagian secara bersekutu, yakni dibagi sama rata sesuai dengan jumlah saudara seibu tersebut. Dengan demikian, untuk saudara seibu tidak berlaku hukum “bagian untuk anak laki-laki sama dengan bagian untuk dua orang anak perempuan”. Dan dapat disimpulkan, bahwa untuk saudara seibu ini bagian warisnya tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan.
Harap diperhatikan bahwa ketentuan-ketentuan diatas hanya dapat dilaksanakan jika pewaris tidak mempunyai ayah dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Termasuk pula pokok dan cabang seterusnya, yaitu kakek, cucu perempuan dan cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya. Di dalam ilmu faraid kondisi seperti ini disebut juga kalalah, yaitu seseorang yang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun anak, atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Para ulama telah sepakat (ijma') bahwa kalalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya dari asy-Sya’bi, bahwasanya Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah ditanya mengenai kalalah, ia menjawab: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, kalalah adalah orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak."
Ketika Umar bin Khattab berkuasa, ia berkata: “Aku malu untuk menyelisihi pendapat Abu Bakar (mengenai makna kalalah tersebut).” Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya, “Demikian pula yang dikatakan oleh Ali dan Ibnu Mas’ud, dan diriwayatkan dari beberapa orang dari Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit. Demikian pula pendapat asy-Sya’bi, an-Nakha’i, al-Hasan, Qatadah, Jabir bin Zaid, dan al-Hakam. Begitu pula pendapat ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Kufah dan Basrah. Begitu juga pendapat Fuqaha Tujuh dan Imam Empat serta jumhur ulama salaf dan khalaf, bahkan sudah merupakan ijma’ para ulama.”
Hukum Bagian Waris untuk Saudara Sekandung atau Seayah
Firman Allah SWT, “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Sebagaimana pada hukum bagian waris untuk saudara seibu lain ayah, maka hukum bagian waris untuk saudara sekandung atau seayah diatas hanya dapat diterapkan jika terjadi kondisi kalalah, yaitu jika pewaris tidak mempunyai ayah dan tidak pula anak, khususnya anak laki-laki. Jika pewaris mempunyai anak lelaki walaupun hanya seorang, maka sudah dapat dipastikan saudara sekandung atau seayah ini tidak mendapatkan warisan, karena anak laki-laki merupakan ahli waris yang dapat menghalangi hak waris saudara sekandung atau seayah, dimana ia akan mengambil seluruh sisa warisan yang ada setelah dibagikan kepada ahli waris lainnya yang telah mendapatkan bagian tetap sebagaimana yang telah Al-Qur’an tetapkan ketentuannya secara pasti. Namun jika ia hanya mempunyai anak perempuan saja, baik seorang atau lebih, maka saudara sekandung atau seayah ini masih memungkinkan untuk mendapatkan hak waris secara ashabah (mendapat hak waris secara sisa). Dengan demikian, dari ayat diatas dapat disimpulkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Apabila pewaris mempunyai seorang saudara laki-laki sekandung atau seayah dan mempunyai seorang saudara perempuan sekandung atau seayah, maka yang laki-laki mendapatkan 2/3 bagian, sedangkan 1/3 bagian lagi milik yang perempuan.
2. Apabila pewaris meninggalkan banyak saudara laki-laki sekandung atau seayah (dua orang atau lebih) dan banyak saudara perempuan sekandung atau seayah (dua orang atau lebih), maka ketentuannya adalah bagian waris untuk yang laki-laki adalah dua kali bagian waris untuk yang perempuan.
3. Apabila pewaris hanya mempunyai satu orang saudara perempuan sekandung ataupun seayah, maka ia mendapat seperdua harta peninggalan.
4. Apabila pewaris mempunyai dua orang atau lebih saudara perempuan sekandung atau seayah, maka mereka mendapat dua per tiga bagian dibagi secara rata diantara mereka.
5. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki sekandung atau seayah, tanpa ada saudara perempuan sekandung atau seayah, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara laki-laki sekandungnya atau seayah. Apabila saudara laki-laki sekandung atau seayah nya banyak (dua orang atau lebih), maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala.
Harap diperhatikan bahwa saudara seayah tidak mendapatkan hak waris seandainya ada seorang atau lebih saudara sekandung, oleh karena itu kalimat-kalimat diatas menggunakan kata sambung “atau”. Jadi dengan kata lain, adanya saudara sekandung merupakan penghalang bagi saudara seayah untuk mendapatkan hak waris, kecuali untuk kondisi tertentu sebagaimana yang akan saya jelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Sumber Hukum dari Hadits Rasulullah
Selain dari Al-Qur’an, terdapat pula hadits yang menerangkan tentang hukum pembagian harta warisan ini. Hadits tersebut adalah:
Artinya: “Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, ‘Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya (kepada pihak) laki-laki yang lebih utama.’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun yang dimaksud dengan “laki-laki yang lebih utama" pada hadits diatas adalah kerabat laki-laki yang terdekat kekerabatannya dengan pewaris, kemudian jika masih ada sisanya beralih ke kerabat laki-laki lain yang urutan kedekatannya setelah kerabat yang pertama, dan begitu seterusnya. Ada yang cukup menarik dari teks hadits diatas, yaitu pada akhir hadits diatas (lihatlah teks arab yang digaris bawahi dengan warna merah), yakni menggunakan kata dzakar (laki-laki) setelah kata rajul (seorang laki-laki). Penyebutan kata “dzakar” setelah penyebutan kata “rajul” tersebut merupakan penegasan yang menggantikan posisi pihak perempuan. Selain itu agar menghindari salah pengertian, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk laki-laki dewasa dan cukup umur saja. Sebab, janin dan bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan jika ia memang termasuk ahli waris.
Selain hadits diatas, terdapat pula hadits-hadits lainnya yang berkenaan dengan hukum waris ini. Agar lebih mudah memahaminya, Insya Allah pada pelajaran selanjutnya akan saya bahas berikut dengan contoh-contohnya.
Sumber Hukum dari Ijma’ para Sahabat dan Ulama
Para sahabat nabi, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan tabi'it tabi'in (generasi setelah tabi'in), telah berijma’ atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid ini dan tiada seorang pun yang menyalahi ijma’ tersebut.
Kalangan sahabat nabi yang terkenal dengan pengetahuan ilmu faraidnya ada empat. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah ibnu Mas'ud. Apa yang mereka sepakati atas sebuah masalah faraid, maka umat Islam akan menyetujuinya, kendatipun terdapat perbedaan pendapat diantara mereka dalam satu masalah tertentu.
Imam Syafi’i dan sebagian ulama yang lainnya telah memilih mazhab Zaid bin Tsabit, karena sabda Rasulullah saw., “Zaid telah mengajarkan ilmu faraid kepada kalian.” Al-Qaffal berkata, “Pendapat Zaid bin Tsabit dalam masalah faraid tidak pernah diabaikan, bahkan semua pendapat-pendapatnya diterapkan. Hal ini berbeda dengan pendapat-pendapat yang diberikan oleh sahabat yang lain”. Insya Allah pada pelajaran selanjutnya akan saya sampaikan ijma’ para sahabat dan ulama tersebut berikut dengan contoh-contoh kasusnya.
Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
Banyak riwayat yang mengisahkan tentang asbabun nuzul atau sebab musabab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya, sedang keduanya itu tidak dapat menikah kecuali dengan harta" Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu surat an-Nisaa' ayat 11. Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad itu dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara sekandung Sa'ad (paman kedua putri Sa’ad).
Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban persoalan itu.
Juga di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan, “Jabir bin Abdullah ra. mengatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya ketika ia sakit dan tidak sadarkan diri. Lalu orang-orang menuangkan bekas bekas air wudhu beliau kepadanya sehingga sadar. Kemudian ia katakan, “Ya Rasulullah! Yang akan mewarisi saya hanyalah kalalah.” Maka, turunlah ayat tentang waris (hukum kalalah), yakni surah An-Nisaa’ ayat 176.”
Jika kita menyimak hadits-hadits diatas, terdapat suatu gambaran nyata bagaimana sesungguhnya kondisi sistem waris sebelum Islam datang, yaitu pada masa Arab jahilliyah dahulu. Orang-orang Arab jahilliyah hanya mengenal sistem kewarisan yang diturunkan hanya kepada anak laki-laki dewasa yang ditandai dengan kemampuannya menunggang kuda, bertempur dimedan perang, dan meraih harta rampasan perang. Apabila pewaris tidak mempunyai anak lelaki dewasa, maka mereka memberikan kepada para kerabat lelaki yang terdekat dengan pewaris, seperti saudara laki-laki dewasa dari pewaris, paman pewaris, dan seterusnya, yang penting mereka adalah laki-laki dewasa. Dengan demikian, mereka tidak memberikan waris kepada kaum wanita dan laki-laki yang masih anak-anak. Selain itu mereka pun memberikan hak waris kepada anak angkat (anak yang diadopsi), dan kedudukan anak angkat oleh mereka dianggap sama dengan kedudukan anak kandung dalam hal pembagian harta waris.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. disebutkan, “Ketika masalah faraid (warisan) diturunkan, yang di dalamnya Allah wajibkan bagian untuk anak laki-laki dan perempuan, serta ayah dan ibu, seluruh atau sebagian masyarakat membencinya. Mereka berkata, 'Istri diberikan bagian warisan sebesar seperempat dan seperdelapan, anak perempuan mendapat bagian seperdua dan anak kecil juga mendapatkan bagian, padahal tidak seorang pun dari golongan mereka itu yang berperang demi membela suatu kaum dan memiliki harta rampasan perang. Acuhkanlah pembicaraan ini, semoga saja Rasulullah saw. menjadi lupa atau bila kita mengatakannya, pastilah beliau akan mengubahnya.' Lalu sebagian dari mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kami harus memberikan seorang budak wanita setengah bagian harta waris yang ditinggalkan ayahnya, sedang dirinya tidak bisa memacu kuda dan tidak bisa membela kaumnya dalam peperangan? Kemudian kami memberi anak kecil harta waris pula, padahal harta itu tak berarti apa-apa baginya?’ Orang-orang Arab di masa Jahiliah melakukan hal seperti itu, dan tidak memberikan warisan, kecuali kepada orang yang berperang. Tentunya mereka akan memberikannya kepada yang lebih besar dan seterusnya.” (Tafsir Ibnu Jarir, juz VIII, hlm.32)
Namun setelah Islam datang dan iman mereka semakin kuat, mereka dengan segera meninggalkan adat istiadat dan kebiasaan mereka mengenai sistem pembagian waris arab jahilliyah tersebut, dan mereka pun membatalkan atau meniadakan hak waris bagi anak angkat, karena Allah telah berfirman: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Ahzab – 4,5)
Maka kita patut bersyukur kepada Allah Yang Maha Pemurah, yang telah menurunkan ketetapan dan peraturan sistem pembagian waris ini dengan sangat adil, sehingga kita mendapat petunjuk yang jelas bagaimana cara membagi harta waris yang Allah ridhai.
Rukun-rukun Waris
Rukun-rukun waris ada tiga, yang mana jika salah satu dari rukun waris ini tidak ada maka tidak akan terjadi pembagian warisan. Diantaranya adalah:
1. Adanya pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia yang meninggalkan sejumlah harta dan peninggalan lainnya yang dapat diwariskan.
2. Adanya ahli waris, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Adanya harta warisan, yaitu harta peninggalan milik pewaris yang ditinggalkan ketika ia wafat. Harta warisan ini dapat berbagai macam bentuk dan jenisnya, seperti uang, emas, perak, kendaraan bermotor, asuransi, komputer, peralatan elektronik, binatang ternak (seperti ayam, kambing, domba, sapi, kerbau, dan lain-lain), rumah, tanah, sawah, kebun, toko, perusahaan, dan segala sesuatu yang merupakan milik pewaris yang di dalamnya ada nilai materinya.
Hak-hak yang berkaitan dengan Pewaris
Dalam hal penggunaan harta warisan ini, terdapat beberapa hak yang harus ditunaikan terlebih dahulu berkaitan dengan hak-hak pewaris. Jika hak-hak ini sudah ditunakan, barulah sisa dari seluruh harta peninggalan pewaris tersebut dapat dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan (ijma’) para ulama. Hak-hak yang berkaitan dengan pewaris dan harta warisannya tersebut diantaranya adalah:
- Biaya untuk keperluan pemakaman pewaris
- Hutang pewaris
- Menunaikan wasiat pewaris
Biaya untuk Keperluan Pemakaman Pewaris
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya tersebut dengan penggunaan yang sewajarnya, yakni tidak berlebihan dan tidak pula dikurang-kurangi. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya adalah: biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Segala keperluan tersebut bisa berbeda-beda biayanya, tergantung keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
Apabila pewaris tidak meninggalkan warisan, maka hendaknya biaya pemakamannya dipikul oleh keluarga yang menjadi tanggungannya sewaktu masih hidup, yaitu anak-anak dan kerabat lainnya yang mampu. Jika pewaris tidak mempunyai kerabat yang dapat menanggung biaya penguburannya, maka biaya itu dapat meminta ke kas RT, kas RW atau bahkan baitulmal (kas negara). Di tempat saya tinggal dahulu, terdapat satu kebijaksanaan dari pengurus RT dan para warganya, yaitu menyediakan biaya pengurusan jenazah dari awal sampai ke tempat peristirahatannya yang terakhir (tidak termasuk biaya untuk pembelian tanah makam). Kas RT ini sebenarnya merupakan dana yang di dapat dari iuran bulanan warga itu sendiri.
Hutang Pewaris
Hutang yang masih ditanggung pewaris harus ditunaikan atau dibayarkan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum hutangnya ditunaikan terlebih dahulu.
Berkaitan dengan hutang ini, terdapat hadits Rasulullah sebagai berikut, “Dari Abu Hurairah ra. bahwa ada jenazah yang mempunyai tanggungan hutang dibawa kepada Rasulullah, lalu beliau bertanya, “Apakah mayat ini meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahukan dia meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, maka beliau menshalatinya. Jika dia tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, maka beliau mengatakan kepada para sahabat, “Shalatilah sahabatmu ini!” Setelah Allah memberikan kemenangan berkali-kali kepada Rasulullah dalam pertempuran (sehingga banyak diperoleh harta rampasan perang), maka beliau bersabda, “Aku lebih berhak terhadap orang-orang mu’min daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati dengan mempunyai tanggungan hutang, maka akulah yang melunasinya, dan barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta tersebut milik ahli warisnya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lainnya disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Roh (jiwa) seorang mu’min masih terkatung-katung (sesudah wafatnya) sampai hutangnya didunia dilunasi. (HR. Ahmad)
Di dalam hadits yang lain disebutkan bahwasanya Rasulullah bersabda, “Akan diampuni semua dosa orang yang mati syahid, kecuali hutangnya (yang belum dibayar). (HR. Muslim)
Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya, bagaimana perihal seseorang yang wafat, yang masih mempunyai tanggungan hutang yang belum dilunasi, namun ia tidak meninggalkan harta warisan yang cukup untuk menutup hutangnya tersebut? Maka jika terjadi kondisi seperti ini, yaitu jumlah hutangnya tersebut lebih besar dari harta warisan yang ada, maka ahli warisnya harus berusaha melunasinya dari harta warisan yang ada ditambah dengan harta mereka sendiri sebagai bentuk tanggung jawab ahli waris terhadap kerabatnya yang telah wafat tersebut. Jika memang hartanya masih belum mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada kerabatnya yang lain. Jika memang masih belum mencukupi juga, maka bisa meminta bantuan kepada kaum muslimin lainnya, atau bahkan meminta bantuan kepada pemerintah atau negara dari harta baitulmal (kas negara).
Di dalam suatu hadits disebutkan, “Seorang hamba muslim yang membayar hutang saudaranya, maka Allah akan melepaskan ikatan penggadaiannya pada hari kiamat.” (HR. Mashabih Assunnah)
Di dalam hadits lainnya disebutkan, “Berlakulah lunak dan saling mengasihi (dalam hal menagih hutang). Hendaklah kamu saling mengalah terhadap yang lain. Apabila orang yang punya hak (yang menghutangkan) mengetahui kebaikan yang akan diperolehnya disebabkan menunda tuntutannya atas haknya (terhadap orang yang berhutang), pasti orang yang punya tuntutan atas haknya (yang menghutangkan) akan lari menjauhi orang yang dituntutnya (orang yang berhutang).” (HR. Bukhari)
Harap diperhatikan, bahwa hutang yang patut dibantu adalah hutang seseorang yang digunakan untuk amal kebaikan, seperti untuk memberi makan anak istrinya, membeli pakaian untuk menutup auratnya, dan lain sebagainya, karena memang dia berada dalam kondisi yang kekurangan. Adapun hutang seseorang yang digunakan untuk perbuatan dosa, seperti seseorang yang berhutang untuk berjudi, membeli minuman keras dan perbuatan dosa lainnya, maka tidak perlu dibantu, dan bahkan tidak boleh meminjamkan harta untuk perbuatan dosa dalam bentuk dan kondisi apapun. Wallahu’alam.
Menunaikan Wasiat Pewaris
Wasiat adalah permintaan pewaris terhadap ahli warisnya sebelum wafatnya. Wasiat ini sebenarnya tidak hanya berupa pesan yang sifatnya untuk membagikan sejumlah tertentu dari hartanya, namun ia bisa juga berbentuk pesan-pesan kebaikan yang diinginkan pewaris untuk ditunaikan oleh ahli warisnya.
Seorang muslim yang telah mengetahui ilmu faraid tentunya menginginkan ketika ia telah wafat, harta peninggalannya tersebut dapat dibagikan kepada ahli warisnya dengan benar sesuai dengan syariat (ketentuan) yang Allah turunkan. Juga terkadang mereka mempunyai keinginan tertentu sebelum wafatnya, diantaranya ia ingin seperbagian hartanya tersebut disedekahkan kepada fakir miskin, diinfakan di jalan Allah, disumbangkan untuk pembangunan masjid setempat, dibagikan kepada seseorang yang ia anggap telah berjasa kepadanya, dan lain sebagainya. Maka seluruh keinginannya tersebut dapat dituliskan di dalam suatu surat wasiat.
Penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah pewaris wafat. Jika ia mewasiatkan harta, maka yang paling didahulukan untuk diselesaikan adalah biaya keperluan pemakamannya, kemudian pembayaran hutangnya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, disebutkan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw memutuskan untuk mendahulukan penyelesaian hutang sebelum melaksanakan wasiat.
Wajib hukumnya menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Para ulama telah sepakat bahwa pemberian wasiat kepada ahli waris hukumnya adalah haram, baik wasiat itu sedikit maupun banyak, karena Allah swt. telah menetapkan bagian ahli waris di dalam Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., dari Abu Umamah ra., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sungguh Allah telah memberikan hak (waris) kepada setiap yang berhak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat (tambahan harta) bagi orang yang (telah) mendapatkan warisan’”. (HR. al-Khamsah, kecuali an-Nasa’i)
Adapun mengenai ayat “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah – 180), maka sesungguhnya ayat ini turun sebelum ayat-ayat waris. Maka setelah turun ayat-ayat waris, ditentukanlah batas-batas tertentu bagi para ahli waris sebagaimana yang sudah saya jelaskan pada sub bab “Penjelasan Ayat-ayat Waris” di atas. Oleh karena itu, setelah turun ayat-ayat waris, seseorang tidak boleh lagi berwasiat untuk membagikan sejumlah harta tertentu di luar haknya untuk para ahli warisnya. Adapun wasiat untuk selain ahli waris maka diperbolehkan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat Nabi dan tabi’in.
Terkecuali khusus untuk istri-istri dari pewaris, terdapat satu ayat yang menjelaskan hak mereka, yakni “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah – 240). Jadi para istri hendaknya diberi nafkah selama setahun penuh dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya, dimana semua itu harus sudah diwasiatkan oleh para suami yang telah kedatangan tanda-tanda maut. Nafkah setahun yang diwasiatkan ini adalah diluar harta warisan. Jika mereka (para istri pewaris) hendak pindah sendiri sebelum setahun (yakni setelah habis masa iddahnya [empat bulan sepuluh hari]), maka para wali atau ahli waris tidak berdosa membiarkan para istri itu untuk berbuat yang makruf, seperti misalnya menikah lagi dan lain sebagainya. Jadi tinggal selama setahun di rumah pewaris dan juga mendapatkan nafkahnya selama setahun merupakan hak bagi para istri yang ditinggal wafat suaminya.
Dalam berwasiat hendaknya ada saksi, sebagaimana diterangkan dalam ayat “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghad0
Pembagian Waris Untuk Ashhabul Furudh
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
• Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
• Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
• Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
• Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
• Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
• Kesimpulan
Dalam membagikan harta warisan, terdapat dua langkah yang dapat dilakukan. Langkah pertama adalah membagikan terlebih dahulu harta waris tersebut kepada ahli waris yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara jelas, yaitu disebut juga sebagai ashhabul furudh. Kemudian sisanya diberikan kepada ahli waris lainnya, dimana mereka yang mendapatkan sisa harta waris ini disebut juga sebagai ashabah. Namun jika tidak ada satupun ashhabul furudh, maka ashabah ini akan mendapatkan seluruh harta waris yang ada. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa para ashhabul furudh akan mendapatkan harta waris secara fardh, yakni mendapatkan bagian waris secara tetap sebagaimana yang sudah Allah tetapkan di dalam Al-Qur’an secara jelas.
Bagian yang telah ditentukan Al-Qur’an untuk ashhabul furudh ini ada enam macam, yaitu:
- Setengah (1/2)
- Seperempat (1/4)
- Seperdelapan (1/8)
- Dua per tiga (2/3)
- Sepertiga (1/3)
- Seperenam (1/6)
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya dari golongan perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut adalah:
- Suami
- Anak perempuan
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki, cicit perempuan keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah
- Saudara perempuan sekandung
- Saudara perempuan seayah
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan setengah harta warisan, dengan syarat apabila istrinya tidak mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun dari bekas suaminya yang terdahulu. Selain anak, mencakup pula keturunan istri seterusnya yang tidak terselingi oleh perempuan, yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, cicit laki-laki keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, cicit perempuan keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah.
2. Anak perempuan kandung (bukan anak tiri ataupun anak angkat) mendapat bagian setengah harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
- Anak perempuan itu adalah anak tunggal.
- Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, baik yang berasal dari ibu anak perempuan tersebut maupun dari istri pewaris yang lain. Dengan kata lain anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki satu pun.
3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian setengah, dengan tiga syarat:
- Pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
- Ia adalah cucu perempuan tunggal.
- Ia tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni cucu laki-laki yang lain dari keturunan anak laki-laki, baik dari keturunan ayahnya maupun dari keturunan pamannya yang lain.
4. Saudara perempuan sekandung akan mendapat bagian setengah harta warisan, dengan tiga syarat:
- Ia tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung lainnya.
- Ia hanya seorang diri, yakni tidak ada saudara perempuan sekandung lainnya.
- Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syarat tidak tercampur unsur perempuan di dalamnya.
5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian setengah dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
- Ia tidak mempunyai saudara laki-laki seayah lainnya.
- Ia hanya seorang diri, yakni tidak ada saudara perempuan seayah lainnya.
- Pewaris tidak mempunyai saudara perempuan sekandung dan saudara laki-laki sekandung.
- Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syarat tidak tercampur unsur perempuan di dalamnya.
Contoh 1
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Ibu 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian paman sekandung adalah:
= 1 – Bagian suami – Bagian ibu
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 2/6 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung 1/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 2
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Ayah 1
Saudara laki-laki sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Saudara laki-laki sekandung - Terhalang karena adanya ayah
Bagian ayah adalah:
= 1 – Bagian suami
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/2 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 3
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Anak perempuan 1
Ibu 1
Paman seayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Paman seayah Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian paman seayah adalah:
= 1 – Bagian anak perempuan – Bagian paman seayah
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Paman seayah 2/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 4
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Anak perempuan 1
Istri 1
Ayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Istri 1/8 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita harus menghitung jumlah seluruh bagian ahli waris tersebut, apakah bernilai 1 atau tidak. Untuk itu, marilah kita jumlahkan dahulu seluruh bagian ahli waris diatas sebagai berikut:
Karena hasil diatas kurang dari 1, berarti ada sisa bagian sebesar 5/24 (didapat dari 24/24 – 19/24 = 5/24). Oleh karena itu, setelah semua ashhabul furudh mendapatkan bagiannya, maka sisa tersebut diberikan kepada ayah sebagai ashabah, karena memang disana tidak ada ashabah lainnya (silahkan lihat kembali bab 3 pada sub bab “Kelompok Ashhabul Furudh dan Ashabah”). Sehingga bagian ayah adalah 4/24 + 5/24 = 9/24.
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 12/24 Mendapat hak waris secara fardh
Istri 3/24 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 9/24 Mendapat hak waris secara fardh dan ashabah
Contoh 5
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1
Nenek dari ibu 1
Saudara laki-laki sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/2 Mendapat hak waris secara fardh, karena tidak ada anak laki-laki, tidak ada anak perempuan dan tidak ada saudara laki-lakinya (cucu laki-laki).
Nenek dari ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian saudara laki-laki sekandung adalah:
= 1 – Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki – Bagian nenek dari ibu
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 3/6 Mendapat hak waris secara fardh, karena tidak ada anak laki-laki, tidak ada anak perempuan dan tidak ada saudara laki-lakinya (cucu laki-laki).
Nenek dari ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung 2/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 6
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1
Suami 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/2 Mendapat hak waris secara fardh, karena tidak ada anak laki-laki, tidak ada anak perempuan dan tidak ada saudara laki-lakinya (cucu laki-laki).
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian paman sekandung adalah:
= 1 – Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki – Bagian suami
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 2/4 Mendapat hak waris secara fardh, karena tidak ada anak laki-laki, tidak ada anak perempuan dan tidak ada saudara laki-lakinya (cucu laki-laki).
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung 1/4 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 7
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan sekandung 1
Suami 1
Saudara laki-laki seayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki seayah Sisa Mendapat hak waris secara ashabah (jika masih ada sisa)
Perhatikanlah bagian saudara perempuan sekandung dan bagian suami diatas. Karena 1/2 + 1/2 = 1, maka tidak ada sisa yang dapat dibagikan kepada ashabah. Oleh karena itu saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian sedikitpun karena harta waris yang ada telah habis dibagikan kepada para ashabul furudh. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Contoh 8
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan sekandung 1
Istri 1
Ibu 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah (jika masih ada sisa)
Perhatikanlah bagian masing-masing ashabul furudh diatas. Dengan melihat besarnya masing-masing bagian ahli waris ashabul furudh diatas, maka kita harus menjumlahkan dahulu seluruh bagian ahli waris yang mendapatkan hak waris secara fardh tersebut, apakah berjumlah satu atau bahkan lebih dari 1.
= Bagian Saudara perempuan sekandung + Bagian istri + Bagian ibu
Ternyata hasil diatas lebih dari 1. Karena itu, pembagi (pokok masalah atau asal masalah) harus dinaikkan menjadi sama dengan pembilangnya yang baru, yaitu 13. Didalam ilmu faraid, inilah yang disebut dengan metode ‘aul. Pembahasan lebih detail mengenai ‘aul ini bisa dilihat pada bab yang akan datang. Juga paman sekandung tidak mendapat bagian sedikitpun karena harta waris yang ada telah habis dibagikan kepada para ashabul furudh. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 6/13 Mendapat hak waris secara fardh
Istri 3/13 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 4/13 Mendapat hak waris secara fardh
Contoh 9
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan seayah 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan seayah 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian paman sekandung adalah:
= 1 – Bagian saudara perempuan seayah
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan seayah 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung 1/2 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 10
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan seayah 1
Suami 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan seayah 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Karena hasil pemjumlahan dari masing-masing bagian ahli waris diatas tepat berjumlah satu (1/2 + 1/2 = 1), maka selesai sudah pembagian hak warisnya.
Contoh 11
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan seayah 1
Ibu 1
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan seayah 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki dari Saudara laki-laki sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung adalah:
= 1 – Bagian saudara perempuan seayah – Bagian ibu
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan seayah 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 2/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 1/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Ashhabul furudh yang berhak mendapat seperempat (1/4) bagian dari harta peninggalan pewaris hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat bagian dari harta peninggalan istrinya dengan syarat apabila istrinya mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun dari bekas suaminya yang terdahulu. Selain anak, mencakup pula keturunan istri seterusnya yang tidak terselingi oleh perempuan, yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, cicit laki-laki keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, cicit perempuan keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah.
2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat bagian dari harta peninggalan suaminya dengan syarat apabila suaminya tidak mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak itu dari rahim istri tersebut ataupun dari istri-istri dan bekas istrinya yang terdahulu. Selain anak, mencakup pula keturunan suami seterusnya yang tidak terselingi oleh perempuan, yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, cicit laki-laki keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, cicit perempuan keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah. Satu hal yang harus kita fahami, yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah berlaku untuk seluruh istri yang dinikahi oleh suami yang meninggal tersebut, dimana mereka belum bercerai dengan suaminya tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka secara bersekutu dengan dibagi sama rata didalam 1/4 bagian tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna “mereka perempuan”. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan, dibagi sama rata sesuai dengan jumlah istri.
Contoh 12
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Anak laki-laki 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian anak laki-laki adalah:
= 1 – Bagian suami
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki 3/4 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 13
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Anak perempuan 1
Ibu 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah (jika masih ada sisa)
Bagian paman sekandung adalah:
= 1 – Bagian suami – Bagian anak perempuan – Bagian ibu
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 3/12 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 6/12 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 2/12 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung 1/12 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 14
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 1
Saudara laki-laki sekandung 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Paman sekandung - Terhalang karena adanya saudara laki-laki sekandung
Bagian saudara laki-laki sekandung adalah:
= 1 – Bagian istri
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung 3/4 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 15
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 1
Ibu 1
Saudara laki-laki seibu 2
Saudara laki-laki seayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki seibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki seayah Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian saudara laki-laki seayah adalah:
= 1 – Bagian istri – Bagian ibu – Bagian saudara laki-laki seibu
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 3/12 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 2/12 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki seibu 4/12 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki seayah 3/12 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 16
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 2
Ayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh (kedua istri ini bersekutu didalam 1/4 bagian ini, yakni dibagi rata)
Ayah Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian ayah adalah:
= 1 – Bagian istri
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh (kedua istri ini bersekutu didalam 1/4 bagian ini, yakni dibagi rata)
Ayah 3/4 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 17
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 4
Saudara laki-laki seayah 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh (keempat istri ini bersekutu didalam 1/4 bagian ini, yakni dibagi sama rata)
Saudara laki-laki seayah Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Paman sekandung - Terhalang karena adanya saudara laki-laki seayah
Bagian saudara laki-laki seayah adalah:
= 1 – Bagian istri
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh (keempat istri ini bersekutu didalam 1/4 bagian ini, yakni dibagi sama rata)
Saudara laki-laki seayah 3/4 Mendapat hak waris secara ashabah
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) hanyalah istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya secara bersekutu bersama istri-istri suaminya yang lain (yakni dibagi sama rata diantara mereka dari 1/8 bagian tersebut), dengan syarat apabila suaminya tersebut mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak itu dari rahim istri tersebut ataupun dari istri-istri dan bekas istrinya yang terdahulu. Selain anak, mencakup pula keturunan suami seterusnya yang tidak terselingi oleh perempuan, yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, cicit laki-laki keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, cicit perempuan keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah. Satu hal yang harus kita fahami, yang dimaksud dengan "istri mendapat seperdelapan" adalah berlaku untuk seluruh istri yang dinikahi oleh suami yang meninggal tersebut, dimana mereka belum bercerai dengan suaminya tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperdelapan harta peninggalan suami mereka secara bersekutu dengan dibagi sama rata didalam 1/8 bagian tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna “mereka perempuan”. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan, dibagi sama rata sesuai dengan jumlah istri.
Contoh 18
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 1
Anak laki-laki 1
Anak perempuan 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/8 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Anak perempuan Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Jika anak laki-laki bersamaan dengan anak perempuan, maka mereka mendapat hak waris secara ashabah, yakni bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan. Oleh karena itu, untuk menghitung bagian mereka harus disatukan dahulu bagian mereka. Bagian anak laki-laki dan anak perempuan sebagai berikut:
= 1 – Bagian istri
Kemudian kita hitung juga jumlah anak laki-laki dan anak perempuannya sebagai berikut (jumlah anak laki-laki dikali 2, kemudian dijumlahkan dengan jumlah anak perempuan):
= (Jumlah anak laki-laki x 2) + (Jumlah anak perempuan)
= (1 x 2) + 1
= 2 + 1
= 3
Kemudian pembilang dari bagian anak laki-laki dan anak perempuan diatas dibagi dengan jumlah anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana diatas.
7 : 3 = 2 1/3
Perhatikanlah angka 2 1/3 diatas. Angka ini merupakan bilangan yang tidak bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah anak laki-laki dan anak perempuan. Caranya adalah sebagai berikut:
Perhatikanlah bagian anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana diatas. Nilai 21/24 ini adalah jumlah dari bagian anak laki-laki dan bagian anak perempuan, dimana bagian anak laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian anak perempuan. Maka bagian anak laki-laki adalah 14/24 dan bagian anak perempuan adalah 7/24.
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 3/24 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki 14/24 Mendapat hak waris secara ashabah
Anak perempuan 7/24 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 19
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 2
Ayah 1
Cucu laki-laki dari anak laki-laki 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/8 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu laki-laki dari anak laki-laki Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Cucu laki-laki dari anak laki-laki adalah:
= 1 – Bagian istri – Bagian ayah
Perhatikanlah hasil diatas. Bagian kedua istri adalah 3/24. Seandainya 3 ini dibagi 2, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah istri. Maka perhitungannya menjadi:
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 6/48 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing istri mendapat 3/48 bagian)
Ayah 8/48 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu laki-laki dari anak laki-laki 34/48 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 20
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 4
Ibu 1
Anak perempuan 1
Saudara laki-laki sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/8 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Saudara laki-laki sekandung adalah:
= 1 – Bagian istri – Bagian ibu – Bagian anak perempuan
Perhatikanlah hasil diatas. Bagian keempat istri adalah 3/24. Seandainya 3 ini dibagi 4, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah istri. Maka perhitungannya menjadi:
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 12/96 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing istri mendapat 3/96 bagian)
Ibu 16/96 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 48/96 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung 20/96 Mendapat hak waris secara ashabah
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ashhabul furudh yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita, yaitu:
- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
- Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih.
- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris.
2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga, dengan persyaratan sebagai berikut:
- Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.
- Pewaris tidak mempunyai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
3. Dua saudara perempuan sekandung (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
- Dua saudara perempuan sekandung (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai ashabah.
- Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki.
4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
- Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.
- Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara sekandung (baik laki-laki maupun perempuan).
- Tidak ada saudara laki-laki sekandung, baik jumlahnya satu orang atau lebih, karena mereka menjadi penghalang hak waris mereka.
- Tidak ada saudara perempuan sekandung lebih dari satu orang. Namun jika jumlah saudara perempuan sekandungnya hanya satu orang, maka mereka mendapatkan hak waris, yakni 1/6 bagian dibagi sama rata diantara mereka (bersekutu). Insya Allah mengenai hal ini akan saya jelaskan pada bab selanjutnya.
Contoh 21
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Anak perempuan 2
Ibu 1
Ayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita perlu memeriksa apakah seluruh bagian mereka berjumlah satu. Jika kurang dari satu, maka sisanya diberikan kepada ayah. Jika lebih dari satu, maka asal masalah (pembagi) harus dinaikkan (metode ‘aul) sesuai dengan jumlah pembilang.
Setelah melihat hasil diatas, ternyata jumlah mereka bernilai 1. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 4/6 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing anak perempuan mendapat 2/6 bagian)
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Contoh 22
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Anak perempuan 3
Istri 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Istri 1/8 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Paman sekandung adalah:
= 1 – Bagian Anak perempuan – Bagian Istri
Perhatikanlah hasil diatas. Bagian ketiga anak perempuan adalah 16/24. Seandainya 16 ini dibagi 3, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah anak perempuan. Maka perhitungannya menjadi:
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 48/72 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing anak perempuan mendapat 16/72 bagian)
Istri 9/72 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung 15/72 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 23
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Anak perempuan 2
Ibu 1
Saudara laki-laki sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah (jika ada sisa)
Karena banyaknya ahli waris yang mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita perlu memeriksa apakah seluruh bagian mereka berjumlah satu. Jika kurang dari satu, maka sisanya diberikan kepada saudara laki-laki sekandung. Jika lebih dari satu, maka asal masalah (pembagi) harus dinaikkan (metode ‘aul) sesuai dengan jumlah pembilang, dan saudara laki-laki sekandung tidak mendapatkan bagian.
Setelah melihat hasil diatas, ternyata jumlah mereka lebih dari 1. Oleh karena itu, pembagi harus dinaikkan menjadi 13. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 3/13 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 8/13 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing anak perempuan mendapat 4/13 bagian)
Ibu 2/13 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 24
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 1
Anak perempuan 2
Anak 1
Saudara laki-laki sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah (jika ada sisa)
Karena banyaknya ahli waris yang mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita perlu memeriksa apakah seluruh bagian mereka berjumlah satu. Jika kurang dari satu, maka sisanya diberikan kepada saudara laki-laki sekandung. Jika lebih dari satu, maka asal masalah (pembagi) harus dinaikkan (metode ‘aul) sesuai dengan jumlah pembilang, dan saudara laki-laki sekandung tidak mendapatkan bagian.
Setelah melihat hasil diatas, ternyata jumlah mereka lebih dari 1. Oleh karena itu, pembagi harus dinaikkan menjadi 13. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 3/13 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 8/13 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing anak perempuan mendapat 4/13 bagian)
Ibu 2/13 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 25
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Cucu perempuan dari anak laki-laki 2
Ibu 1
Ayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita perlu memeriksa apakah seluruh bagian mereka berjumlah satu. Jika kurang dari satu, maka sisanya diberikan kepada ayah. Jika lebih dari satu, maka asal masalah (pembagi) harus dinaikkan (metode ‘aul) sesuai dengan jumlah pembilang.
Setelah melihat hasil diatas, ternyata jumlah mereka bernilai 1. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 4/6 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 2/6 bagian)
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Contoh 26
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Cucu perempuan dari anak laki-laki 3
Istri 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Istri 1/8 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Paman sekandung adalah:
= 1 – Bagian Cucu perempuan dari anak laki-laki – Bagian Istri
Perhatikanlah hasil diatas. Bagian ketiga cucu perempuan dari anak laki-laki adalah 16/24. Seandainya 16 ini dibagi 3, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka perhitungannya menjadi:
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 48/72 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 16/72 bagian)
Istri 9/72 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung 15/72 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 27
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan sekandung 2
Ibu 1
Ayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita perlu memeriksa apakah seluruh bagian mereka berjumlah satu. Jika kurang dari satu, maka sisanya diberikan kepada ayah. Jika lebih dari satu, maka asal masalah (pembagi) harus dinaikkan (metode ‘aul) sesuai dengan jumlah pembilang.
Setelah melihat hasil diatas, ternyata jumlah mereka bernilai 1. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 4/6 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 2/6 bagian)
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Contoh 28
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan sekandung 3
Istri 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Istri 1/8 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Paman sekandung adalah:
= 1 – Bagian Cucu perempuan dari anak laki-laki – Bagian Istri
Perhatikanlah hasil diatas. Bagian ketiga saudara perempuan sekandung adalah 16/24. Seandainya 16 ini dibagi 3, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah saudara perempuan sekandung. Maka perhitungannya menjadi:
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 48/72 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 16/72 bagian)
Istri 9/72 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung 15/72 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 29
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan seayah 2
Ibu 1
Ayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan seayah 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita perlu memeriksa apakah seluruh bagian mereka berjumlah satu. Jika kurang dari satu, maka sisanya diberikan kepada ayah. Jika lebih dari satu, maka asal masalah (pembagi) harus dinaikkan (metode ‘aul) sesuai dengan jumlah pembilang.
Setelah melihat hasil diatas, ternyata jumlah mereka bernilai 1. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan seayah 4/6 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing saudara perempuan seayah mendapat 2/6 bagian)
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Contoh 30
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan seayah 3
Istri 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan seayah 2/3 Mendapat hak waris secara fardh
Istri 1/8 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Paman sekandung adalah:
= 1 – Bagian Saudara perempuan seayah – Bagian Istri
Perhatikanlah hasil diatas. Bagian ketiga saudara perempuan seayah adalah 16/24. Seandainya 16 ini dibagi 3, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah saudara perempuan seayah. Maka perhitungannya menjadi:
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan seayah 48/72 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing saudara perempuan seayah mendapat 16/72 bagian)
Istri 9/72 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung 15/72 Mendapat hak waris secara ashabah
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga (1/3) bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara seibu atau lebih (baik laki-laki ataupun perempuan). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
- Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
- Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung, seayah ataupun seibu. Namun jika jumlah saudara tersebut hanya satu orang saja, atau bahkan tidak ada satupun saudara, maka ibu mendapat sepertiga.
- Khusus untuk masalah umariyatain, yakni ketika ibu mewarisi bersama sama dengan suami atau istri dari pewaris dan juga ayah, maka ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah dibagikan kepada suami atau istri tersebut. Dengan kata lain, ibu tidak mendapat sepertiga bagian dari harta warisan secara utuh, melainkan sepertiga dari sisa setelah diberikan kepada suami atau istri tersebut.
2. Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
- Jumlah saudara yang seibu itu harus dua orang atau lebih. Cara membaginya adalah dibagi secara sama rata, dimana mereka semua bersekutu didalam 1/3 bagian.
Contoh 31
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Ibu 1
Ayah 1
Saudara laki-laki sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Saudara laki-laki sekandung - Terhalang karena adanya ayah
Bagian Ayah adalah:
= 1 – Bagian Ibu
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 2/3 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 32
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Ibu 1
Ayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh (dari sisa setelah dibagikan kepada suami). Kondisi ini disebut juga ghairawain yang pertama.
Ayah - Mendapat hak waris secara ashabah
Sisa setelah dibagikan kepada Suami adalah:
= 1 – Bagian Suami
Seandainya 1 tersebut dibagi 3, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Karena itu, pembilang dan pembagi harus dikalikan dengan pembagi dari bagian ibu tersebut.
Maka kini sisanya menjadi 3/6. Maka akan didapatkan bagian ibu adalah 1/3 dari 3/6, yakni 1/6. Sedangkan ayah mendapat sisanya, yakni 2/6. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh (dari sisa setelah dibagikan kepada suami)
Ayah 2/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 33
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 1
Ibu 1
Ayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh (dari sisa setelah dibagikan kepada istri). Kondisi ini disebut juga ghairawain yang kedua.
Ayah - Mendapat hak waris secara ashabah
Sisa setelah dibagikan kepada Istri adalah:
= 1 – Bagian Istri
Karena 3 dibagi 3 menghasilkan bilangan bulat, maka kita tidak perlu mengalikannya lagi. Maka akan didapatkan bagian ibu adalah 1/3 dari 3/4, yakni 1/4. Sedangkan ayah mendapat sisanya, yakni 2/4. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/4 Mendapat hak waris secara fardh (dari sisa setelah dibagikan kepada istri)
Ayah 2/4 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 34
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 1
Ibu 1
Saudara laki-laki seibu 2
Saudara laki-laki sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki seibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Saudara laki-laki sekandung adalah:
= 1 – Bagian Istri – Bagian Ibu – Bagian Saudara laki-laki seibu
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 3/12 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 2/12 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki seibu 4/12 Mendapat hak waris secara fardh (masing-masing saudara laki-laki seibu mendapat 2/12 bagian)
Saudara laki-laki sekandung 3/12 Mendapat hak waris secara ashabah
Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak untuk mendapatkan bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang, yaitu:
- Ayah
- Kakek sahih (bapak dari ayah)
- Ibu
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
- Saudara perempuan seayah
- Nenek
- Saudara seibu (baik laki-laki ataupun perempuan)
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan.
2. Seorang kakek sahih (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam bila pewaris mempunyai keturunan yang tidak tercampur unsur wanita di dalamnya, seperti anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya kebawah, dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Yang dimaksud dengan kakek disini adalah bapaknya ayah, bapaknya kakek, dan seterusnya keatas tanpa terselingi oleh unsur wanita. Diriwayatkan dari Imran bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi saw menanyakan perihal bagian warisannya. Dia berkata, “Sesungguhnya cucu laki-lakiku telah meninggal dunia. Berapakah bagian warisan yang aku terima darinya?” Nabi saw menjawab, “Kamu mendapatkan seperenam.” Namun, jika pewaris tidak mempunyai keturunan, maka kakek akan mendapatkan warisan secara ashabah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadaan kakek sama seperti ayah, kecuali untuk masalah umariyatain, kakek tidak bisa menggantikan kedudukan ayah bersama ibu (silahkan lihat kembali sub bab “Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga”). Harap di ingat, bahwa kakek tidak dapat menghalangi hak waris saudara sekandung dan seayah. Sebab jika pewaris mempunyai saudara sekandung dan seayah, baik laki-laki maupun perempuan, maka ketentuan hak waris kakek terdapat aturan tersendiri. Penjelasan lebih jauh mengenai hak waris kakek dengan saudara sekandung dan seayah ini Insya Allah akan saya jelaskan pada bab selanjutnya. Namun, kakek dapat menghalangi hak waris saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
3. Ibu akan memperoleh seperenam bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:
- Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.
- Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Jadi yang dimaksud dengan “beberapa saudara” adalah dua orang saudara atau lebih.
4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam, apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat seperenam, sebagai pelengkap/penyempurna dua per tiga. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Huzail bin Syarhabil berkata, 'Abu Musa al-Asy'ari ra. ditanya tentang bagian warisan anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudara perempuan.' Lalu Abu Musa menjawab, 'Anak perempuan dan saudara perempuan mendapatkan bagian separuh, dan datanglah kepada Ibnu Mas'ud, niscaya dia akan mengikuti pendapatku. 'Kemudian ibnu Mas'ud ra. ditanya tentang perihal yang sama dan diberitahukan mengenai pendapat Abu Musa, maka dia menjawab, 'Sungguh, aku orang yang tersesat dan bukanlah termasuk orang yang memberikan petunjuk. Sesungguhnya, dalam masalah ini aku akan memberikan hukum sesuai dengan ketentuan yang disabdakan, 'Anak perempuan memperoleh bagian separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh bagian seperenam sebagai penyempurna dua per tiga, dan sisanya, untuk saudara perempuan.' Setelah itu, kami kembali mendatangi Abu Musa untuk mengabarkan pendapat Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata, 'Janganlah kalian menanyakan kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) ada pada kalian.”
Nilai 1/6 ini didapat dari :
5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam, apabila pewaris mempunyai seorang saudara perempuan sekandung. Hal ini sama hukumnya dengan keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya seorang anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang saudara perempuan sekandung dan seorang saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam sebagai penyempurna dari dua per tiga. Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.
6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing seperenam bila mewarisi sendirian, dengan syarat pewaris tidak mempunyai pokok (yakni ayah, kakek dan seterusnya) dan tidak pula cabang (yakni anak, cucu, cicit dan seterusnya yang berasal dari pokok yang laki-laki).
7. Nenek, baik nenek yang berasal dari pihak ayah maupun dari pihak ibu akan mendapatkan bagian seperenam, dengan syarat pewaris tidak lagi mempunyai ibu. Seperenam bagian itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat. Haditsnya dalah sebagai berikut: “Qabishah bin Dzu'aib berkata, 'Seorang nenek mendatangi Abu Bakar r.a., menanyakan tentang hak warisnya. Lalu Abu Bakar menjawabnya, 'Kamu tidak mempunyai hak sedikit pun di dalam Kitab Allah dan aku tidak mengetahui sedikitpun bagianmu dari harta waris di dalam Sunnah Nabi saw. Oleh karena itu, kembalilah sampai aku menanyakan hal ini kepada seseorang. Lalu Abu Bakar bertanya kepada al-Mughirah bin Syu'bah, yang kemudian dijawab olehnya, 'Aku pernah mengetahui Rasulullah saw. memberikan warisan kepada seorang nenek sebanyak seperenam bagian.' Abu Bakar bertanya lagi kepada a1-Mughirah, 'Apakah ada orang lain yang bersama kamu ketika itu?' Kemudian Muhammad bin Maslamah al-Anshari berdiri seraya berkomentar seperti apa yang telah diucapkan oleh a1-Mughirah. Setelah itu, Abu Bakar memberikan warisan seperenam kepada nenek tersebut. Kemudian datanglah nenek yang lain kepada Umar menanyakan perihal warisannya. Umar menjawab, 'Kamu tidak mempunyai hak sedikit pun di dalam Kitab Allah dan tidak ada ketentuan yang dapat dipergunakan untuk menetapkannya, melainkan untuk selain kamu. Akan tetapi, hanya seperenam itulah. Karenanya, apabila kamu berdua mewarisi bersama-sama, maka seperenam itulah bagian kalian berdua dan siapa saja di antara kamu berdua sendiri dalam mewarisi, maka bagian seperenam itu juga untuknya.'" (HR al-Khamsah, kecuali an-Nasa'i. Hadits ini disahihkan oleh at-Tirmidzi)
Contoh 35
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Ibu 1
Ayah 1
Anak laki-laki 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Anak laki-laki adalah:
= 1 – Bagian Ibu – Bagian Ayah
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki 4/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 36
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Anak perempuan 1
Ayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita harus menghitung jumlah seluruh bagian ahli waris tersebut, apakah bernilai 1 atau tidak. Untuk itu, marilah kita jumlahkan dahulu seluruh bagian ahli waris diatas sebagai berikut:
Karena hasil diatas kurang dari 1, berarti ada sisa bagian sebesar 1/12 (didapat dari 12/12 – 11/12 = 1/12). Oleh karena itu, setelah semua ashhabul furudh mendapatkan bagiannya, maka sisa tersebut diberikan kepada ayah sebagai ashabah, karena memang disana tidak ada ashabah lainnya (silahkan lihat kembali sub bab “Kelompok Ashhabul Furudh dan Ashabah” pada bab sebelumnya). Sehingga bagian ayah adalah 2/12 + 1/12 = 3/12.
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 3/12 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 6/12 Mendapat hak waris secara fardh
Ayah 3/12 Mendapat hak waris secara fardh dan ashabah
Contoh 37
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Ibu 1
Kakek sahih (bapak dari ayah ) 1
Anak laki-laki 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Kakek 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Anak laki-laki adalah:
= 1 – Bagian Ibu – Bagian Kakek
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Kakek 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki 4/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 38
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Anak perempuan 1
Kakek sahih (bapak dari ayah ) 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Kakek 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita harus menghitung jumlah seluruh bagian ahli waris tersebut, apakah bernilai 1 atau tidak. Untuk itu, marilah kita jumlahkan dahulu seluruh bagian ahli waris diatas sebagai berikut:
Karena hasil diatas kurang dari 1, berarti ada sisa bagian sebesar 1/12 (didapat dari 12/12 – 11/12 = 1/12). Oleh karena itu, setelah semua ashhabul furudh mendapatkan bagiannya, maka sisa tersebut diberikan kepada kakek sebagai ashabah, karena disana tidak ada ashabah lainnya (silahkan lihat kembali sub bab “Kelompok Ashhabul Furudh dan Ashabah” pada bab sebelumnya). Sehingga bagian kakek adalah 2/12 + 1/12 = 3/12.
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 3/12 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 6/12 Mendapat hak waris secara fardh
Kakek 3/12 Mendapat hak waris secara fardh dan ashabah
Contoh 39
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Ibu 1
Kakek sahih (bapak dari ayah ) 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh
Kakek 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita harus menghitung jumlah seluruh bagian ahli waris tersebut, apakah bernilai 1 atau tidak. Untuk itu, marilah kita jumlahkan dahulu seluruh bagian ahli waris diatas sebagai berikut:
Ternyata hasil diatas tepat sama dengan 1. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 2/6 Mendapat hak waris secara fardh
Kakek 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Contoh 40
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 1
Ibu 1
Kakek sahih (bapak dari ayah ) 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/3 Mendapat hak waris secara fardh
Kakek 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Karena semua ahli waris mendapatkan hak warisnya secara fardh, maka kita harus menghitung jumlah seluruh bagian ahli waris tersebut, apakah bernilai 1 atau tidak. Untuk itu, marilah kita jumlahkan dahulu seluruh bagian ahli waris diatas sebagai berikut:
Karena hasil diatas kurang dari 1, berarti ada sisa bagian sebesar 3/12 (didapat dari 12/12 – 9/12 = 3/12). Oleh karena itu, setelah semua ashhabul furudh mendapatkan bagiannya, maka sisa tersebut diberikan kepada kakek sebagai ashabah, karena disana tidak ada ashabah lainnya (silahkan lihat kembali sub bab “Kelompok Ashhabul Furudh dan Ashabah” pada bab sebelumnya). Sehingga bagian kakek adalah 2/12 + 3/12 = 5/12. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 3/12 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 4/12 Mendapat hak waris secara fardh
Kakek 5/12 Mendapat hak waris secara fardh dan ashabah
Contoh 41
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Anak perempuan 1
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1
Paman sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Paman sekandung adalah:
= 1 – Bagian Anak perempuan – Bagian Cucu perempuan dari anak laki-laki
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Paman sekandung 2/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 42
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Saudara perempuan sekandung 1
Saudara perempuan seayah 1
Anak laki-laki dari paman seayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara perempuan seayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki dari paman seayah Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Anak laki-laki dari paman seayah adalah:
= 1 – Bagian Saudara perempuan sekandung – Bagian Saudara perempuan seayah
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Saudara perempuan sekandung 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara perempuan seayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki dari paman seayah 2/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 43
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 1
Saudara laki-laki seibu 1
Saudara laki-laki sekandung 1
Saudara laki-laki seayah 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki seibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Saudara laki-laki seayah - Terhalang karena adanya saudara laki-laki sekandung
Bagian Saudara laki-laki sekandung adalah:
= 1 – Bagian Saudara perempuan sekandung – Bagian Saudara perempuan seayah
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 3/12 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki seibu 2/12 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara laki-laki sekandung 7/12 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 44
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Nenek dari jalur ibu 1
Anak perempuan 1
Paman 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Nenek dari jalur ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Paman Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Paman adalah:
= 1 – Bagian Nenek dari jalur ibu – Bagian Anak perempuan
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Nenek dari jalur ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Paman 2/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 45
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Nenek dari jalur ayah 1
Anak laki-laki 1
Saudara laki-laki sekandung 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Nenek dari jalur ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Saudara laki-laki sekandung - Terhalang karena adanya anak laki-laki
Bagian Anak laki-laki adalah:
= 1 – Bagian Nenek dari jalur ayah
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Nenek dari jalur ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak laki-laki 5/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 46
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Nenek dari jalur ayah 1
Nenek dari jalur ibu 1
Anak laki-laki 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Nenek dari jalur ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh, namun bagian mereka bersekutu di dalam 1/6 tersebut.
Nenek dari jalur ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh, namun bagian mereka bersekutu di dalam 1/6 tersebut.
Anak laki-laki Sisa Mendapat hak waris secara ashabah
Bagian Anak laki-laki adalah:
= 1 – Bagian Nenek dari jalur ayah dan dari jalur ibu
Perhatikanlah hasil diatas. Bagian kedua nenek adalah 1/6. Seandainya 1 ini dibagi 2, maka hasilnya bukan bilangan bulat. Oleh karena itu, agar hasil yang didapat merupakan bilangan yang dapat dibagi sesuai dengan jumlah ahli waris, kita harus menggunakan metode tashih, yaitu pembilang dan pembagi dari masing-masing ahli waris yang ada dikalikan dengan jumlah nenek tersebut. Maka perhitungannya menjadi:
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Nenek dari jalur ayah 1/12 Mendapat hak waris secara fardh.
Nenek dari jalur ibu 1/12 Mendapat hak waris secara fardh.
Anak laki-laki 10/12 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 47
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Ibu 1
Anak perempuan 1
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1
Nenek dari jalur ayah 1
Nenek dari jalur ibu 1
Saudara perempuan sekandung 1
Saudara perempuan seayah 1
Saudara perempuan seibu 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Nenek dari jalur ayah - Terhalang karena adanya ibu
Nenek dari jalur ibu - Terhalang karena adanya ibu
Saudara perempuan sekandung Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah
Saudara perempuan seayah - Terhalang karena adanya saudara perempuan sekandung
Saudara perempuan seibu - Terhalang karena adanya anak perempuan
Bagian saudara perempuan sekandung:
= 1 – Bagian ibu – Bagian anak perempuan – Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara perempuan sekandung 1/6 Mendapat hak waris secara ashabah
Contoh 48
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Istri 1
Ibu 1
Anak perempuan 1
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1
Nenek (ibu dari ayah dan ibu dari ibu) 2
Saudara perempuan sekandung 1
Saudara perempuan seayah 1
Saudara perempuan seibu 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 1/8 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Nenek (dari jalur ibu dan dari jalur ayah) - Terhalang karena adanya ibu
Saudara perempuan sekandung Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah
Saudara perempuan seayah - Terhalang karena adanya saudara perempuan sekandung
Saudara perempuan seibu - Terhalang karena adanya anak perempuan
Bagian saudara perempuan sekandung:
= 1 – Bagian istri – Bagian ibu – Bagian anak perempuan – Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Istri 3/24 Mendapat hak waris secara fardh
Ibu 4/24 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 12/24 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki 4/24 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara perempuan sekandung 1/24 Mendapat hak waris secara ashabah
Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bagian masing-masing ashhabul furudh adalah sebagai berikut:
Suami
• 1/2 bila pewaris tidak mempunyai keturunan yang tidak terselingi oleh perempuan.
• 1/4 bila pewaris mempunyai keturunan yang tidak terselingi oleh perempuan.
Istri
• 1/4 bila pewaris tidak mempunyai keturunan. Nilai 1/4 ini dibagi secara rata sesuai dengan jumlah istri.
• 1/8 bila pewaris mempunyai keturunan. Nilai 1/8 ini dibagi secara rata sesuai dengan jumlah istri.
Ibu
• 1/6 bila pewaris mempunyai keturunan yang tidak terselingi oleh perempuan.
• 1/6 bila pewaris mempunyai saudara dua orang atau lebih.
• 1/3 bila pewaris tidak mempunyai keturunan dan tidak mempunyai saudara melainkan maksimum hanya 1 orang, baik saudara itu sekandung, seayah ataupun seibu. Ibu ini akan mendapatkan 1/3 bagian secara utuh bila pewaris tidak mempunyai suami atau istri. Namun ia akan mendapatkan bagian 1/3 secara sisa bila pewaris mempunyai suami atau istri, setelah terlebih dahulu diberikan kepada suami atau istri tersebut.
Nenek dari jalur ibu
• 1/6 bila pewaris tidak mempunyai ibu. Nilai 1/6 ini dibagi secara rata dengan nenek dari jalur ayah, seandainya ia ada dan berhak mendapatkan warisan.
Nenek dari jalur ayah
• 1/6 bila pewaris tidak mempunyai ibu dan ayah. Nilai 1/6 ini dibagi secara rata dengan nenek dari jalur ibu, seandainya ia ada dan berhak mendapatkan warisan.
Saudara laki-laki dan perempuan seibu
• 1/6 bila ia seorang diri, dan pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, ayah dan kakek sahih (bapaknya ayah).
• 1/3 bila saudara seibu ini lebih dari satu, dan pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, ayah dan kakek sahih (bapaknya ayah). Nilai 1/3 ini dibagi secara rata dengan saudara seibu lainnya sesuai dengan jumlah kepala.
Ayah
• 1/6 bila pewaris mempunyai keturunan yang tidak terselingi oleh perempuan.
Kakek sahih
• 1/6 bila pewaris mempunyai keturunan yang tidak terselingi oleh perempuan dan pewaris tidak mempunyai ayah. Namun jika pewaris tidak mempunyai keturunan dan juga tidak mempunyai ayah, namun mempunyai saudara sekandung atau seayah, maka perhitungannya ada dalam bahasan tersendiri. Silahkan pelajari pada bab “Hak Waris Kakek dan Saudara”.
Anak perempuan
• 1/2 bila ia seorang diri, dan pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
• 2/3 bila ia lebih dari satu, dan pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Nilai 2/3 ini dibagi secara rata sesuai dengan jumlah kepala.
Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki
• 1/2 bila ia seorang diri, dan pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, anak perempuan dan cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
• 2/3 bila ia lebih dari satu, dan pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, anak perempuan dan cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki. Nilai 2/3 ini dibagi secara rata dengan jumlah kepala.
• 1/6 bila pewaris hanya mempunyai seorang anak perempuan, dan tidak mempunyai anak laki-laki dan cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
Saudara perempuan sekandung
• 1/2 bila ia seorang diri, dan pewaris tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung lainnya, ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syarat tidak tercampur unsur perempuan di dalamnya.
• 2/3 bila ia lebih dari satu, dan pewaris tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung lainnya, ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syarat tidak tercampur unsur perempuan di dalamnya. Nilai 2/3 ini dibagi secara rata dengan jumlah kepala.
Saudara perempuan seayah
• 1/2 bila ia seorang diri, dan pewaris tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki seayah, ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syarat tidak tercampur unsur perempuan di dalamnya.
• 2/3 bila ia lebih dari satu, dan pewaris tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki seayah, ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syarat tidak tercampur unsur perempuan di dalamnya. Nilai 2/3 ini dibagi secara rata dengan jumlah kepala.
• 1/6 bila pewaris hanya mempunyai seorang saudara perempuan sekandung, dan pewaris tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syarat tidak tercampur unsur perempuan di dalamnya.
Macam-Macam Ashabah
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Ashabah bin Nafs
- Pengunggulan dari Segi Arahnya
- Pengunggulan dari Segi Derajatnya
- Pengunggulan dari Segi Kuatnya Kekerabatan
• Ashabah bil Ghair
- Syarat-syarat Ashabah bil Ghair
• Ashabah Ma'al Ghair
• Masalah Warisan Orang yang Memiliki Dua Jalur Keturunan
• Contoh-contoh Soal dan Jawabannya
Pada bab sebelumnya, kita sudah membahas sebagian besar contoh-contoh soal dan jawabannya yang di dalamnya banyak disertakan kasus ashabah, yakni kelompok ahli waris yang menerima sisa harta warisan setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Jika ternyata tidak ada ashabul furudh serta ahli waris lainnya, maka ashabah ini berhak mengambil seluruh harta peninggalan yang ada. Begitu juga, jika harta waris yang ada sudah habis dibagikan kepada ashabul furudh, maka para ashabah ini tidak mendapat bagian, kecuali untuk anak dan ayah yang selalu mendapat bagian, karena ia merupakan penghalang terkuat bagi ahli waris lainnya. Tidak peduli banyaknya ashabul furudh maupun ashabah, anak dan ayah selalu mendapatkan bagian.
Pada bab kali ini, saya mencoba membahas macam-macam ashabah lebih detail. Secara umum, ashabah terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Ashabah nasabiyah (karena nasab). Ashabah nasabiyah atau ashabah senasab ini adalah mereka yang menjadi kerabat si mayit dari laki-laki yang tidak diselingi antara dia dan pewaris oleh seorang perempuan, seperti anak, ayah, saudara sekandung atau saudara seayah dan paman sekandung atau paman seayah. Termasuk di dalamnya anak perempuan apabila ia menjadi ashabah dengan saudara laki-lakinya, saudara perempuan sekandung atau seayah yang menjadi ashabah karena bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, dan lain sebagainya. Ashabah nasabiyah ini terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu:
- Ashabah bin nafs (menjadi ashabah dengan dirinya sendiri, dan nasabnya tidak tercampur unsur wanita)
- Ashabah bil ghair (menjadi ashabah karena yang lain)
- Ashabah ma'al ghair (menjadi ashabah bersama-sama dengan yang lain)
Dalam ilmu faraid, apabila lafazh ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa disertakan kata “bil ghair” atau “ma'al ghair”), maka yang dimaksud adalah ashabah bin nafs. Untuk penjelasan detail mengenai macam-macam ashabah nasabiyah di atas, insya Allah akan saya jelaskan berikut ini.
2. Ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Seorang bekas tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan dan kerabat lainnya. Saya tidak akan menjelaskan lebih jauh mengenai ashabah sababiyah ini, karena di zaman ini perbudakan sudah dihapus dan dilarang.
Ashabah bin Nafs
Ashabah bin nafs adalah laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri atau diselingi oleh kaum wanita. Jadi ashabah bin nafs ini harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Ashabah bin nafs ini terdiri dari 4 arah, yaitu:
1. Arah anak (furu’), yakni anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah.
2. Arah ayah (ushul), yakni ayah, kakek shahih, dan generasi seterusnya ke atas, yang pasti hanya dari pihak laki-laki.
3. Arah saudara laki-laki, yakni saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dan generasi seterusnya ke bawah, dan anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan generasi seterusnya ke bawah. Jadi arah ini hanya terbatas pada saudara laki-laki sekandung dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4. Arah paman, yakni paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung dan generasi seterusnya ke bawah, anak laki-laki dari paman seayah dan generasi seterusnya ke bawah.
Keempat arah ashabah bin nafs di atas kekuatannya adalah sesuai dengan urutan nomornya. Jadi arah anak lebih didahulukan daripada arah ayah, arah ayah lebih didahulukan daripada arah saudara laki-laki, dan arah saudara laki-laki lebih didahulukan daripada arah paman. Bila salah satunya menjadi ahli waris tunggal pewaris (yang meninggal dunia), maka ia berhak mengambil seluruh harta warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh tersebut. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para ashabah pun tidak mendapat bagian.
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jika para ashabah bin nafs tersebut lebih dari satu orang? Maka cara pengunggulannya atau pentarjihannya adalah sebagai berikut:
Pengunggulan dari Segi Arahnya
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa ashabah bin nafs, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara sekandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara laki-laki sekandung tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara laki-laki sekandung maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakek. Rinciannya, insya Allah akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
Pengunggulan dari Segi Derajatnya
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang ashabah bin nafs, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pengunggulannya dapat dilakukan dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki. Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara laki-laki sekandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya daripada anak dari saudara laki-laki sekandung. Keadaan seperti ini disebut pengunggulan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.
Pengunggulan dari Segi Kuatnya Kekerabatan
Pengunggulan ini hanya digunakan untuk arah saudara laki-laki dan arah paman. Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak ashabah bi nafs yang sama dalam arah dan derajatnya, maka pengunggulannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara sekandung lebih kuat daripada saudara seayah, paman sekandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari saudara sekandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya.
Ashabah bil Ghair
Ashabah bil ghair hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita, yaitu:
1. Anak perempuan, baik seorang ataupun lebih, akan menjadi ashabah bila bersamaan dengan anak laki-laki (saudara laki-lakinya).
2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki, baik seorang ataupun lebih, akan menjadi ashabah bila berbarengan dengan cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, baik ia saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya.
3. Saudara perempuan sekandung, baik seorang ataupun lebih, akan menjadi ashabah bila bersama saudara laki-laki sekandung (saudara laki-lakinya).
4. Saudara perempuan seayah, baik seorang ataupun lebih, akan menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-laki seayah (saudara laki-lakinya).
Ketentuan pembagian untuk ashabah bil ghair adalah bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Syarat-syarat Ashabah bil Ghair
Ashabah bil ghair tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
1. Wanita-wanita tersebut harus yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi ashabah bil ghair. Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi ashabah bil ghair dengan adanya saudara laki-laki sekandung dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan dari saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
2. Laki-laki yang menjadi ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi penguat cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia menjadi penghalang hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara perempuan sekandung disebabkan tidak sederajat.
3. Laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuatnya dengan ahli waris perempuan ashabul furudh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat menguatkan saudara perempuan sekandung. Sebab saudara perempuan sekandung lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.
Setiap perempuan dari kelompok ahli waris ashabah bil ghair berhak mendapat bagian setengah jika sendirian, dan ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga bila menerima bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi ashabah bila mempunyai saudara laki-laki, yakni bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang telah disebutkan diatas, yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah.
Adapun sebab penamaan ashabah bil ghair adalah karena hak ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya ashabah bin nafs, yakni anak laki-laki, cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para ashabah bin nafs itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut akan mendapat hak warisnya secara fardh.
Ashabah Ma'al Ghair
Ashabah ma'al ghair ini khusus bagi para saudara perempuan sekandung maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan kelompok furu’ dari pihak perempuan, yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan generasi seterusnya ke bawah, dimana mereka (anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan generasi seterusnya ke bawah tersebut) tidak mempunyai saudara laki-laki. Maka dalam hal ini, saudara perempuan sekandung ataupun saudara perempuan seayah akan menjadi ashabah. Jenis ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah ashabah ma'al ghair. Adapun saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur hak saudara (laki-laki atau perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi ashabah.
Dalil untuk ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Huzail bin Syarhabil berkata, 'Abu Musa al-Asy'ari ra. ditanya tentang bagian warisan anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudara perempuan.' Lalu Abu Musa menjawab, 'Anak perempuan dan saudara perempuan mendapatkan bagian separuh, dan datanglah kepada Ibnu Mas'ud, niscaya dia akan mengikuti pendapatku. 'Kemudian ibnu Mas'ud ra. ditanya tentang perihal yang sama dan diberitahukan mengenai pendapat Abu Musa, maka dia menjawab, 'Sungguh, aku orang yang tersesat dan bukanlah termasuk orang yang memberikan petunjuk. Sesungguhnya, dalam masalah ini aku akan memberikan hukum sesuai dengan ketentuan yang disabdakan, 'Anak perempuan memperoleh bagian separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh bagian seperenam sebagai penyempurna dua per tiga, dan sisanya, untuk saudara perempuan.' Setelah itu, kami kembali mendatangi Abu Musa untuk mengabarkan pendapat Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata, 'Janganlah kalian menanyakan kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) ada pada kalian.'”
Dari penjelasan Ibnu Mas'ud di atas dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan dan/atau cucu perempuan dari anak laki-laki, maka mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah sebagai ashabah ma'al ghair.
Di dalam kitab Hasyiyatul Bajuri halaman 108 dituliskan, "Adapun saudara perempuan (sekandung dan seayah) menjadi ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di sisi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah sebagai ashabah agar terkena pengurangan."
Bila seorang saudara perempuan sekandung menjadi ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara laki-laki sekandung sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka, seperti anak keturunan saudara sekandung ataupun seayah (keponakan), paman sekandung ataupun yang seayah. Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.
Contoh pertama, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Maka bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara perempuan sekandung disebabkan ia menjadi ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya sama seperti saudara laki-laki sekandung. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena adanya saudara perempuan sekandung.
Contoh kedua, seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Maka suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu seperempat, menjadi hak dua saudara perempuan sekandung pewaris sebagai ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara perempuan sekandung.
Contoh ketiga, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (kemenakan). Maka dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung terhalang oleh saudara perempuan seayah.
Contoh keempat, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman sekandung. Maka anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia menggugurkan paman sekandung.
Masalah Warisan Orang yang Memiliki Dua Jalur Keturunan
Terkadang ada seseorang yang mempunyai dua jalur keturunan, di mana setiap jalur yang ada membuat orang yang bersangkutan berhak mendapatkan warisan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga sebagai ashabah, atau ia sebagai ashhabul furudh dan juga sebagai dzawil arham. Kemudian timbul pertanyaan, apakah orang ini dapat mewarisi dua kali, dengan dua jalurnya itu atau hanya sekali saja?
Maka jawabannya adalah, hal tersebut sesuai dengan keadaannya. Semua itu dapat mengikuti kaidah-kaidah sebagai berikut:
1. Apabila dalam diri seseorang terkumpul dua jalur keturunan atau lebih dan semuanya menjadikan ia sebagai ashabah, maka ia mewarisi melalui jalur yang lebih kuat. Contohnya, seorang anak laki-laki yang juga menjadi orang yang memerdekakan ayahnya. Maka ia akan mewarisi ayahnya dengan sifat sebagai anak bukan sebagai orang yang memerdekakan. Maka dapat disimpulkan, pada kasus ini seseorang tidak dapat mewarisi secara dua kali.
2. Apabila dalam diri seseorang terkumpul bagian fardh dan juga bagian ashabah, maka ia dapat mewarisi melalui dua jalur tersebut. Misalnya, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu, dan seorang suami, yang juga merupakan anak paman kandung pewaris. Maka untuk nenek seperenam, saudara laki-laki seibu seperenam, suami setengah sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk suami sebagai ashabah karena ia anak paman kandung.
3. Apabila jalur keturunan lebih dari satu yang tidak membawa banyak sifat bagi ahli waris, seperti nenek yang mempunyai dua jalur kekerabatan. Misalnya ibu dari ibunya ibu, yang pada saat bersamaan ia juga adalah ibu dari bapaknya bapak, maka pembagian warisan cukup satu kali, yaitu hanya mendapatkan seperenam.
Contoh-contoh Soal dan Jawabannya
Contoh 1
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Ayah 1
Anak perempuan 1
Anak laki-laki 1
Saudara sekandung perempuan 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah bil ghair
Anak laki-laki Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah bin nafs
Saudara sekandung perempuan - Terhalang karena adanya anak laki-laki
Bagian anak laki-laki dan anak perempuan:
= 1 – Bagian ayah
Nilai di atas harus di tashih dahulu, yakni pembilang dan pembagi dikali dengan jumlah anak laki-laki dan anak perempuan, yakni 3 (ingat, anak laki-laki diibaratkan dengan dua anak perempuan). Maka pembagi yang baru adalah 6 x 3 = 18. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Ayah 3/18 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 5/18 Mendapat hak waris secara ashabah bil ghair
Anak laki-laki 10/18 Mendapat hak waris secara ashabah bin nafs
Contoh 2
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Saudara seibu laki-laki 1
Saudara sekandung laki-laki 1
Saudara sekandung perempuan 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara seibu laki-laki 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara sekandung laki-laki Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah bin nafs
Saudara sekandung perempuan Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah bil ghair
Bagian saudara sekandung laki-laki dan saudara sekandung perempuan:
= 1 – Bagian suami – Bagian saudara seibu laki-laki
Nilai diatas ditashih menjadi 18. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 9/18 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara seibu laki-laki 3/18 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara sekandung laki-laki 4/18 Mendapat hak waris secara ashabah bin nafs
Saudara sekandung perempuan 2/18 Mendapat hak waris secara ashabah bil ghair
Contoh 3
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Anak perempuan 1
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1
Cucu laki-laki dari anak laki-laki 1
Cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah bil ghair
Cucu laki-laki dari anak laki-laki Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah bin nafs
Cicit laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki - Terhalang karena adanya cucu perempuan dari anak laki-laki
Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki:
= 1 – Bagian anak perempuan
Nilai diatas ditashih menjadi 6. Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/6 Mendapat hak waris secara ashabah bil ghair
Cucu laki-laki dari anak laki-laki 2/6 Mendapat hak waris secara ashabah bin nafs
Contoh 4
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1
Saudara seayah perempuan 1
Anak laki-laki dari saudara sekandung laki-laki 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara seayah perempuan Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah ma’al ghair
Anak laki-laki dari saudara sekandung laki-laki - Terhalang karena adanya cucu perempuan dari anak laki-laki
Bagian saudara seayah perempuan:
= 1 – Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara seayah perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara ashabah ma’al ghair
Contoh 5
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Anak perempuan 1
Nenek dari jalur ayah 1
Saudara sekandung perempuan 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/4 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Nenek dari jalur ayah 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara sekandung perempuan Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah ma’al ghair
Bagian saudara sekandung perempuan:
= 1 – Bagian suami – Bagian anak perempuan – Bagian nenek dari jalur ayah
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 3/12 Mendapat hak waris secara fardh
Anak perempuan 6/12 Mendapat hak waris secara fardh
Nenek dari jalur ayah 2/12 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara sekandung perempuan 1/12 Mendapat hak waris secara ashabah ma’al ghair
Contoh 6
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Anak perempuan 1
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1
Saudara sekandung perempuan 1
Saudara seayah laki-laki 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara sekandung perempuan Sisanya Mendapat hak waris secara ashabah ma’al ghair
Saudara seayah laki-laki - Terhalang karena adanya saudara sekandung perempuan
Bagian saudara sekandung perempuan:
= 1 – Bagian anak perempuan – Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Anak perempuan 3/6 Mendapat hak waris secara fardh
Cucu perempuan dari anak laki-laki 1/6 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara sekandung perempuan 2/6 Mendapat hak waris secara ashabah ma’al ghair
Contoh 7
Seseorang meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
Ahli Waris Jumlah
Suami 1
Saudara sekandung perempuan 1
Saudara seayah perempuan 1
Saudara seayah laki-laki 1
Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Jawaban:
Table pembagian awalnya adalah:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara sekandung perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara seayah perempuan - Terhalang karena adanya saudara seayah laki-laki. Seandainya saudara seayah laki-laki tidak ada, maka saudara seayah perempuan ini akan mendapat warisan sebanyak 1/6 bagian, dan pembagi akan naik dari 6 menjadi 7.
Saudara seayah laki-laki - Terhalang karena sudah tidak ada sisa warisan
Maka kini pembagian hak warisnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Bagian Keterangan
Suami 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Saudara sekandung perempuan 1/2 Mendapat hak waris secara fardh
Al-’Aul dan Ar-Radd
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Definisi al-’Aul
• Latar Belakang Terjadinya ‘Aul
• Pembagi yang Tidak Dapat Di-’aul-kan
- Contoh – Pembagi 2
- Contoh – Pembagi 3
- Contoh – Pembagi 4
- Contoh – Pembagi 8
- Kesimpulan
• Pembagi yang Dapat Di-’aul-kan
- Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 7
- Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 8
- Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 9
- Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 10
- Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 13
- Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 15
- Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 17
- Contoh – Pembagi 24 di ‘Aulkan ke 27
- Kesimpulan
• Definisi ar-Radd
• Syarat-syarat Terjadinya ar-Radd
• Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
• Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
• Macam-macam ar-Radd
• Hukum Keadaan Pertama
• Hukum Keadaan Kedua
• Hukum Keadaan Ketiga
• Hukum Keadaan Keempat
Definisi al-’Aul
Al-’aul adalah bertambahnya pembagi (jumlah bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan banyaknya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya telah melebihi nilai 1, sehingga di antara ashhabul furudh tersebut ada yang belum menerima bagian yang semestinya. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat 1/2 dapat berubah menjadi 1/3 dalam keadaan tertentu, seperti bila pembaginya dinaikkan, dari 6 menjadi 9. Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (1/2) hanya memperoleh 3/9 (1/3). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pembaginya naik atau bertambah.
Latar Belakang Terjadinya ‘Aul
Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus ‘aul tidak pernah terjadi. Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata, "Orang yang pertama kali menambahkan pembagi (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Riwayat kejadiannya adalah: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti pembilangnya melebihi pembaginya, karena 1/2 + 2/3 = 7/6. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara perempuan sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi hal demikian Umar pun berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah bagian suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin Tsabit mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode ‘aul. Umar menerima anjuran tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati sebagian besar sahabat Nabi saw., kecuali Ibnu ‘Abbas yang tidak menyetujui adanya ‘aul ini.
Pembagi yang Tidak Dapat Di-’aul-kan
Pembagi yang tidak dapat di-’aul-kan ada empat, yaitu 2, 3, 4, dan 8.
Contoh – Pembagi 2
Seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian suami 1/2, dan bagian saudara perempuan sekandung 1/2. Dalam hal ini, pembaginya adalah 2. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 3
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: Ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pembaginya adalah 3. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 4
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian istri 1/4, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara laki-laki sekandung dengan saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dalam hal ini pembaginya adalah 4. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 8
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 8, bagian istri 1/8 berarti satu bagian, anak 1/2 berarti empat bagian, sedangkan saudara perempuan sekandung menerima sisanya, yakni 3/8. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Kesimpulan
1. Ketika diketahui jumlah seluruh bagian ahli waris, dimana nilai pembaginya lebih besar atau sama dengan pembilangnya, maka disana tidak perlu menggunakan metode ‘aul.
2. Metode ‘aul digunakan jika nilai pembaginya lebih kecil dari pembilangnya.
Pembagi yang Dapat Di-’aul-kan
Angka-angka pembagi yang dapat di-’aul-kan ialah angka 6, 12, dan 24. Namun, ketiga pembagi itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri.
Pembagi 6 hanya dapat di-’aul-kan/dinaikkan menjadi 7, 8, 9, atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pembagi 6 hanya dapat dinaikkan hingga empat kali saja.
Kemudian pembagi 12 hanya dapat dinaikkan menjadi 13, 15, atau 17. Lebih dari itu tidak bisa. Maka pembagi 12 hanya dapat di-’aul-kan maksimum tiga kali saja.
Sedangkan pembagi 24 hanya dapat di-’aul-kan ke angka 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah". Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 7
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga, bagian saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 7/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 7.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 8
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu bagian, saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 8/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 8.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 9
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan sekandung, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pembaginya 6. Bagian suami 1/2 berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3 berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 9/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 9.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 10
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya enam. Bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu, bagian dua orang saudara seayah 2/3 berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu 1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 10/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 10.
Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 13
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, bagian ibu 1/6 berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan sekandung 2/3 berarti delapan bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 13/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 13.
Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 15
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara perempuan sekandung, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, ibu mendapat 1/6 berarti dua bagian, saudara perempuan sekandung memperoleh 1/2 berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah 1/6, sebagai penyempurna dua pertiga, yang berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga 1/6 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 15/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 15.
Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 17
Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya 12. Bagian ketiga orang istri adalah 1/4 berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah 1/6 yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah 2/3 nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 17/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 17.
Contoh – Pembagi 24 di ‘Aulkan ke 27
Masalah ini dikenal dengan sebutan al-mimbariyyah. Kasusnya adalah: Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pembaginya 24. Ayah mendapat 1/6 berarti empat bagian, ibu memperoleh 1/6 berarti empat bagian, istri mendapat 1/8 berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat 1/2 berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat 1/6, sebagai penyempurna 2/3, yang berarti empat bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 27/24. Oleh karena itu, pembagi 24 dinaikkan menjadi 27.
Kesimpulan
1. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian 1/2 dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian 1/2, maka pembaginya dari 2, dan tidak dapat di-’aul-kan.
2. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lainnya 2/3, maka pembaginya dari 3, dan tidak ada ‘aul.
3. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/4 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat 1/4 dan yang lain berhak mendapat 1/2, maka pembaginya dari 4, dan dalam hal ini tidak ada ‘aul.
4. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/8 dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pembaginya dari delapan, dan tidak ada ‘aul.
Hak Waris Kakek dan Saudara
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Pengertian Kakek
• Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek dan Saudara
- Pendapat Madzhab Pertama
- Pendapat Madzhab Kedua
• Penjelasan Madzhab Kedua
• Hukum Keadaan Pertama
- Dengan Cara Pembagian
- Dengan Cara Mendapatkan 1/3 Dari Seluruh Harta Waris Yang Ditinggalkan Pewaris
• Hukum Keadaan Kedua
• Ketika Saudara Sekandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek
• Hak Waris Saudara Seibu dan Keturunan Para Saudara Sekandung ataupun Seayah
• Masalah al-Akdariyah
Pengertian Kakek
Yang dimaksud dengan kakek disini adalah kakek yang sahih, yakni kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri unsur wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya keatas. Sedangkan kakek yang tercampuri unsur wanita disebut juga sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah.
Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek dan Saudara
Baik Al-Qur'an maupun Al-Hadits tidak menjelaskan secara jelas tentang hukum waris bagi kakek yang sahih ketika bersamaan dengan saudara sekandung ataupun saudara seayah. Didalam Al-Qur’an hanya diterangkan mengenai hak waris ayah ketika bersamaan dengan para saudara. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra., disebutkan bahwa Umar berkhutbah di atas mimbar Rasulullah saw. Setelah membaca hamdalah dan memuji Allah, ia berkata: “Sesungguhnya telah diturunkan ayat tentang pengharaman khamar (minuman keras) yang terbuat dari lima jenis; gandum, jelai, kurma, anggur dan madu. Khamar adalah sesuatu yang menghilangkan kesadaran akal. Dan ada tiga perkara, wahai hadirin sekalian, yang aku ingin sekali Rasulullah saw. mewasiatkan kepada kita yaitu mengenai warisan kakek, kalalah dan perkara-perkara yang masuk dalam kategori riba.” (Shahih Muslim No.5360)
Oleh karena itu, mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam menentukan masalah ini, bahkan mereka cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang masalah warisan kakek yang sahih dengan saudara."
Para imam madzhab pun berbeda pendapat mengenai hak waris kakek bila bersamaan dengan para saudara, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw. Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua madzhab sebagai berikut:
Pendapat Madzhab Pertama
Mereka menyatakan bahwa para saudara, baik saudara sekandung, saudara seayah, ataupun seibu, terhalang (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling tinggi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata ashabah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan adalah arah anak (keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah paman. Sekali-kali arah itu tidak akan berubah atau berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau habis. Misalnya, jika ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah anak. Bila ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan adalah arah saudara, kemudian barulah arah paman. Oleh karena itu, golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah, mencakup pula kakek, buyut (ayahnya kakek), dan seterusnya keatas, lebih didahulukan daripada arah saudara. Dengan demikian, hak waris para saudara akan terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hak waris oleh saudara bila ada ayah. Madzhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Abu Musa, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan 14 sahabat yang lain. Pendapat ini diikuti oleh madzhab Hanafi, dan juga oleh syaikh Abdurrahman as-Sa’dy dan syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz.
Pendapat Madzhab Kedua
Mereka berpendapat bahwa para saudara sekandung dan saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara sekandung dan yang seayah, sama seperti halnya ayah. Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan saudara dan kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah (ayahnya ayah), sedangkan saudara adalah cabang dari ayah (anak-anaknya ayah), karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan mencegah yang lain berarti telah melakukan kezhaliman tanpa alasan yang dapat diterima. Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara sekandung kemudian di antara mereka ada yang tidak diberi.
Alasan lain yang dikemukakan madzhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara terhadap harta jauh lebih besar daripada kakek. Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan hanya kepada kakek tanpa saudara diberi bagian, kemudian kakek ini wafat, maka harta peninggalannya akan berpindah kepada anak-anaknya kakek, yang berarti paman-paman para saudara. Dengan demikian para paman menjadi ahli waris, sedangkan para saudara tadi hanya menggigit jari dan kebagian tangis, tidak mendapat warisan dari saudaranya yang meninggal.
Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal, dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim.
Didalam buku “Pembagian Waris menurut Islam”, karya Muhammad Ali Ash-Shabuni, disebutkan bahwa pendapat madzhab kedua ini adalah pendapat jumhur ulama, artinya ini adalah pendapat yang paling rajih (kuat). Namun dalam buku “Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih”, karya Muhaamd bin Shalih al-‘Utsaimin, disebutkan bahwa pendapat yang paling rajih (kuat) adalah madzhab yang pertama. Wallahu’alam.
Penjelasan Madzhab Kedua
Untuk lebih menjelaskan pendapat madzhab yang kedua, maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri sebagai berikut:
- Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan, dan sebagainya.
- Keadaan kedua: kakek mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain, seperti ibu, istri, suami, nenek, dan anak perempuan.
Hukum Keadaan Pertama
Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabul furudh yang lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang paling menguntungkan baginya dari dua pilihan yang ada, agar kakek lebih banyak memperoleh harta warisan. Terdapat dua metode dalam hal ini, yakni:
1. Dengan cara pembagian.
2. Dengan cara mendapatkan 1/3 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris.
Mana di antara kedua metode tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah yang menjadi bagiannya. Bila metode pembagian lebih baik baginya maka hendaklah kakek dibagi dengan cara pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang menjadi haknya. Dengan demikian, minimal bagian kakek adalah 1/3 bagian pada hukum untuk keadaan pertama ini.
Dengan Cara Pembagian
Yang dimaksud dengan cara pembagian adalah kakek dikategorikan seperti saudara sekandung, ia mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara laki-laki sekandung. Apabila kakek berhadapan dengan saudara perempuan sekandung, maka ia menempati posisi yang sama seperti saudara laki-laki sekandung. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.
Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kelima keadaan tersebut sebagai berikut:
1. Kakek dengan seorang saudara perempuan sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 2/3.
2. Kakek dengan dua orang saudara perempuan sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 1/2.
3. Kakek dengan tiga orang saudara perempuan sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 2/5.
4. Kakek dengan saudara laki-laki sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 1/2.
5. Kakek dengan saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung. Pada keadaan ini, kakek mendapat 2/5.
Kelima keadaan di atas lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian. Bila menggunakan metode pembagian kemungkinan merugikan kakek, maka kakek mendapat bagiannya dengan cara mendapatkan 1/3 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris.
Selain itu, ada tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik secara pembagian ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga keadaan itu adalah sebagai berikut:
1. Kakek dengan dua orang saudara laki-laki sekandung.
2. Kakek dengan empat orang saudara perempuan sekandung.
3. Kakek dengan seorang saudara laki-laki sekandung dan dua orang saudara perempuan sekandung.
Dengan Cara Mendapatkan 1/3 Dari Seluruh Harta Waris Yang Ditinggalkan Pewaris
Selain dari delapan keadaan yang dikemukakan di atas, maka pemberian 1/3 dari harta waris kepada kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang kakek dan tiga orang saudara, atau seorang kakek dan lima saudara perempuan sekandung atau lebih. Dalam hal ini kakek mendapat 1/3, dan sisanya dibagikan kepada para saudara, yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian wanita. Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian (metode pertama), maka kakek akan dirugikan karena akan menerima kurang dari 1/3 harta warisan.
Hukum Keadaan Kedua
Bila kebersamaan kakek dengan para saudara tersebut dibarengi pula dengan adanya ashhabul furudh yang lain, maka kakek dapat memilih salah satu dari tiga pilihan yang paling menguntungkannya, yaitu:
1. Dengan metode pembagian.
2. Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh.
3. Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris.
Bagaimanapun keadaannya, pada hukum kedua ini, minimal kakek diberi bagian 1/6 secara fardh, dan para saudara sekandung bisa saja dikurangi haknya atau bahkan digugurkan sama sekali jika memang harta tersebut telah habis. Ketetapan ini telah menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.
Bila menggunakan metode pertama lebih menguntungkan kakek, maka hendaknya kakek dibagi dengan cara itu. Dan jika dengan 1/3 dari sisa harta waris yang ada malah lebih menguntungkannya, maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek tidaklah boleh kurang dari 1/6 bagaimanapun keadaannya, terkecuali jika terjadi ‘aul yang dalam hal ini hanya terjadi pada masalah al-akdariyah (insya Allah akan dijelaskan pada sub bab yang terakhir pada bab ini).
Contoh 1
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakek, dan saudara laki-laki sekandung. Maka bagaimanakah pembagiannya? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
- Dengan metode pembagian:
Suami mendapatkan 1/2 karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakek 1/4 dan saudara laki-laki sekandung juga 1/4. Dengan demikian, suami mendapat 2/4, kakek 1/4 dan saudara laki-laki sekandung juga 1/4.
- Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Suami mendapatkan 1/2 karena pewaris tidak mempunyai anak, kakek mendapat 1/3 dari 1/2, yakni 1/6 dan saudara laki-laki sekandung mendapat sisanya, yakni 2/6. Dengan demikian, suami mendapat 3/6, kakek 1/6 dan saudara laki-laki sekandung 2/6.
- Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Maka ini sudah jelas hasilnya akan sama dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh, yakni suami mendapat 3/6, kakek 1/6 dan saudara laki-laki sekandung 2/6.
Dari ketiga metode diatas, manakah yang paling menguntungkan buat kakek? Mari kita check:
= 1/4 ? 1/6 ? 1/6
= 3/12 ? 2/12 ? 2/12
= 3/12 adalah yang paling besar
Setelah dibandingkan, ternyata 3/12 (1/4) lebih besar dari 1/6. Maka pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan metode pembagian, dan metode inilah yang digunakan dalam menentukan bagian waris buat kakek.
Contoh 2
Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua orang saudara laki-laki sekandung dan dua orang saudara perempuan sekandung. Maka bagaimanakah pembagiannya? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
- Dengan metode pembagian:
Ibu mendapat 1/6 bagian, dan sisanya (5/6) dibagikan kepada kakek, dua orang saudara laki-laki sekandung dan dua orang saudara perempuan sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan. Karena kakek dianggap sama dengan saudara laki-laki sekandung, maka jumlah kepala saudara perempuan sekandung dianggap ada 8 orang, sehingga pembagi harus ditashih, dari 6 menjadi 48, karena 5 tidak bisa dibagi 8. Dengan demikian, bagian ibu adalah 8/48, kakek mendapat 10/48, dua orang saudara laki-laki sekandung mendapat 20/48 sehingga masing-masing saudara laki-laki sekandung mendapat 10/48, dan dua orang saudara perempuan sekandung mendapat 10/48, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 5/48.
- Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Ibu mendapat 1/6 bagian, kakek mendapat 1/3 dari sisa harta yang ada, yakni 1/3 dari 5/6, dan sisanya dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagian anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan. Dengan demikian, bagian ibu adalah 3/18, kakek mendapat 5/18, dan sisanya, yakni 10/18 adalah bagian dua saudara laki-laki sekandung dan dua saudara perempuan sekandung. Dua saudara laki-laki sekandung dan dua saudara perempuan sekandung dianggap berjumlah 6 kepala saudara perempuan sekandung. Karena 10 tidak bisa dibagi 6, maka nilai ini harus ditashih lagi, yakni dikalikan 3. Sehingga bagiannya menjadi:
Ibu = 3/18 x 3/3 = 9/54
Kakek = 5/18 x 3/3 = 15/54
Masing-masing saudara laki-laki sekandung = 10/18 x 3/3 x 2/6 = 10/54
Masing-masing saudara perempuan sekandung = 10/18 x 3/3 x 1/6 = 5/54
- Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Ibu mendapat 1/6 bagian, kakek mendapat 1/6 bagian, dan sisanya (4/6) dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagian anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan. Jumlah saudara laki-laki sekandung ada dua orang, maka jumlah kepala saudara perempuan sekandung dianggap ada 6 orang, sehingga pembagi harus ditashih, dari 6 menjadi 18, karena 4 tidak bisa dibagi 6. Dengan demikian, bagian ibu adalah 3/18, kakek mendapat 3/18, dua orang saudara laki-laki sekandung mendapat 8/18 sehingga masing-masing saudara laki-laki sekandung mendapat 4/18, dan dua orang saudara perempuan sekandung mendapat 4/18, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 2/18.
Dari ketiga metode diatas, manakah yang paling menguntungkan buat kakek? Mari kita check:
= 10/48 ? 15/54 ? 3/18
= 5/24 ? 5/18 ? 1/6
= 15/72 ? 20/72 ? 12/72
= Maka didapatkan, nilai yang terbesar adalah 20/72.
Setelah dibandingkan, ternyata yang paling besar adalah 20/72 (15/54). Maka pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan menerima sepertiga (1/3) dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh, dan metode inilah yang digunakan dalam menentukan bagian waris buat kakek.
Contoh 3
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek, kakek, dan tiga orang saudara perempuan sekandung. Maka berapakah bagian waris masing-masing? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
- Dengan metode pembagian:
Anak perempuan 1/2, nenek 1/6, dan sisanya untuk kakek dan tiga orang saudara perempuan sekandung. Diketahui sisanya adalah 2/6, dimana pembagi ini harus ditashih, dari 6 menjadi 30. Maka bagian anak perempuan 15/30, nenek 5/30, kakek 4/30, dan tiga orang saudara perempuan sekandung 6/30, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 2/30.
- Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Anak perempuan 1/2, nenek 1/6, kakek 1/3 dari 2/6, yakni 2/18 dan tiga orang saudara perempuan sekandung mendapat sisanya. Diketahui sisanya adalah 4/18, sehingga pembagi ini harus ditashih lagi, dari 18 menjadi 54. Maka bagian anak perempuan 27/54, nenek 9/54, kakek 6/54, dan tiga orang saudara perempuan sekandung 12/54, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 4/54.
- Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Anak perempuan 1/2, nenek 1/6, kakek 1/6, dan sisanya dibagikan kepada tiga orang saudara perempuan sekandung dibagi secara rata. Dengan demikian anak perempuan mendapat 3/6, nenek 1/6, kakek 1/6, dan sisanya 1/6 dibagikan kepada tiga orang saudara perempuan sekandung dibagi secara rata. Nilai ini harus ditashih lagi, yakni dikalikan 3. Setelah ditashih, maka anak perempuan mendapat 9/18, nenek 3/18, kakek 3/18, dan masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 1/18.
Dari ketiga metode diatas, manakah yang paling menguntungkan buat kakek? Mari kita check:
= 4/30 ? 6/54 ? 3/18
= 2/15 ? 1/9 ? 1/6 Diketahui 15 x 9 x 6 = 810
= 108/810 ? 90/810 ? 135/810
= Maka didapatkan, nilai yang terbesar adalah 135/810.
Setelah dibandingkan, ternyata yang paling besar adalah 135/810 (3/18). Maka pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris, dan metode inilah yang digunakan dalam menentukan bagian waris buat kakek.
Contoh 4
Seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami, kakek, dan empat saudara laki-laki sekandung. Maka berapakah bagian waris masing-masing? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
- Dengan metode pembagian:
Suami mendapat 1/4, lima anak perempuan mendapat 2/3, dan sisanya (1/12) untuk kakek dan empat saudara laki-laki sekandung. Tanpa perlu dilanjutkan perhitungan masing-masing ahli waris, terlihat bahwa metode ini tidak menguntungkan bagi kakek jika dibandingkan dengan metode ketiga.
- Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Apalagi metode ini, kakek akan mendapatkan 1/3 dari 1/12, yakni 1/36. Ini lebih merugikan lagi dari metode pertama.
- Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Tidak diragukan lagi, bahwa metode ini yang paling menguntungkan bagi kakek, karena ia mendapat 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris dan metode inilah yang harus kita ambil dalam mencari bagian waris buat kakek. Maka suami mendapat 1/4, lima anak perempuan mendapat 2/3, dan kakek mendapat 1/6, sedangkan empat saudara laki-laki sekandung tidak mendapatkan apa-apa karena tidak ada bagian yang bersisa. Nilai pembagi di ‘aul kan lagi, dari 12 menjadi 13, sehingga suami mendapat 3/13, lima anak perempuan mendapat 8/13, dan kakek mendapat 2/13. Berhubung anak perempuan ada lima orang, maka harus dilakukan tashih, karena 8 tidak bisa dibagi 5. Setelah ditashih, maka suami mendapat 15/65, lima anak perempuan mendapat 40/65, sehingga masing-masing anak perempuan mendapat 8/65 dan kakek mendapat 10/65.
Contoh 5
Seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu, dan sepuluh saudara perempuan sekandung. Maka berapakah bagian waris masing-masing? Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
- Dengan metode pembagian:
Kedua orang istri 1/8, anak perempuan 1/2, dan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna dua per tiga 2/3, ibu mendapatkan 1/6, dan sisanya (1/24) untuk kakek dan sepuluh saudara perempuan sekandung. Tanpa perlu dilanjutkan perhitungan masing-masing ahli waris, terlihat bahwa metode ini tidak menguntungkan bagi kakek jika dibandingkan dengan metode ketiga.
- Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Apalagi metode ini, kakek akan mendapatkan 1/3 dari 1/24, yakni 1/72. Ini lebih merugikan lagi dari metode pertama.
- Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Tidak diragukan lagi, bahwa metode ini yang paling menguntungkan bagi kakek, karena ia mendapat 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris dan metode inilah yang harus kita ambil dalam mencari bagian waris buat kakek. Maka kedua orang istri 1/8, anak perempuan 1/2, dan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna dua per tiga 2/3, ibu mendapatkan 1/6, dan kakek juga 1/6. Sedangkan sepuluh saudara perempuan sekandung tidak mendapatkan apa-apa sebab ashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang ada. Nilai pembagi di ‘aul kan lagi, dari 24 menjadi 27, sehingga kedua orang istri mendapat 3/27, anak perempuan mendapat 12/27, cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat 4/27, ibu mendapat 4/27 dan kakek mendapat 4/27. Karena jumlah istri ada dua, maka harus dilakukan tashih, karena 3 tidak bisa dibagi 2. Setelah ditashih, maka kedua orang istri mendapat 6/54, sehingga masing-masing istri mendapat 3/54, anak perempuan mendapat 24/54, cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat 8/54, ibu mendapat 8/54 dan kakek mendapat 8/54.
Hukum tentang hak waris saudara laki-laki dan/atau perempuan seayah ketika bersama dengan kakek, tanpa adanya saudara laki-laki dan/atau perempuan sekandung, maka hukumnya sama dengan kedua hukum yang telah dijelaskan di atas.
Ketika Saudara Sekandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek
Pembahasan di atas berkisar mengenai bagian kakek bila hanya bersamaan dengan saudara sekandung saja atau dengan saudara seayah saja, tanpa adanya saudara sekandung. Pada bagian ini akan dijelaskan bagian kakek jika ia tidak hanya bersama dengan saudara sekandung, tetapi sekaligus bersama dengan saudara seayah. Jadi mereka, kakek, saudara sekandung dan saudara seayah ada semua dalam satu keadaan.
Untuk keadaan seperti ini, ulama faraid menyatakan bahwa para saudara seayah dikategorikan sama dengan saudara sekandung, yakni mereka dianggap satu jenis. Jadi jika ada seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang saudara laki-laki seayah, maka dianggap ada dua orang saudara laki-laki sekandung, dan seterusnya. Namun, walaupun mereka dianggap satu jenis, bukan berarti satu derajat, yakni tetap saja keberadaan saudara sekandung dapat menghalangi hak waris saudara seayah. Ketentuan mengenai hukum al-hajb ini tetap digunakan.
Mengenai tata cara pembagiannya, sama seperti pada hukum pertama dan hukum kedua diatas, sebagaimana yang sudah kita bahas sama-sama. Jika menggunakan metode pembagian, maka keberadaan saudara seayah ini membuat bagian saudara sekandung bertambah, sebab bagian untuk saudara laki-laki seayah diambil oleh saudara sekandung laki-laki, disebabkan saudara seayah terhalang oleh saudara sekandung. Dengan demikian, keberadaan saudara seayah ini bisa saja dalam satu keadaan terlihat merugikan kakek jika menggunakan metode pembagian, karena sisa bagian waris akan menjadi milik saudara sekandung saja, disebabkan saudara seayah terhalang oleh saudara sekandung. Jika terjadi demikian, maka harus menggunakan metode lainya dalam menentukan bagian waris untuk kakek, sehingga didapatkan bagian waris yang paling menguntungkan buat kakek. Silahkan pelajari contoh-contoh soal dibawah ini untuk lebih memperjelas.
Contoh 1
Seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah. Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Berhubung disini tidak ada ashhabul furudh lainnya, maka kita harus menggunakan hukum pertama, bukan hukum kedua. Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
- Dengan metode pembagian:
Dianggap jumlah saudara laki-laki sekandung ada 3 orang, maka kakek mendapat 1/3 bagian, dan saudara laki-laki sekandung memperoleh 2/3 bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena adanya saudara laki-laki sekandung.
- Dengan cara mendapatkan 1/3 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Maka kakek mendapat 1/3, dan saudara laki-laki sekandung memperoleh 2/3 bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena adanya saudara laki-laki sekandung.
Pada contoh 1 ini terlihat kedua metode yang digunakan menghasilkan nilai yang sama buat kakek, yakni 1/3. Karena itu kita dapat menggunakan kedua metode ini untuk menentukan pembagian waris bagi kakek.
Contoh 2
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara perempuan sekandung, kakek, seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudara perempuan seayah. Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Berhubung disini tidak ada ashhabul furudh lainnya, maka kita harus menggunakan hukum pertama, bukan hukum kedua. Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
- Dengan metode pembagian:
Pertama-tama, mari kita jumlahkan total orangnya:
= Seorang saudara perempuan sekandung + kakek + seorang saudara laki-laki seayah + dua orang saudara perempuan seayah
= 1 + 2 + 2 + 2
= 7
Maka kakek akan mendapat bagian 2/7, saudara perempuan sekandung mendapat 1/2 dari 7, dan sisanya untuk seorang saudara laki-laki seayah dan dua orang saudara perempuan seayah. Tanpa perlu kita lanjutkan, sudah jelas 2/7 lebih kecil dari 1/3, karena itu kita tidak dapat menggunakan metode ini.
- Dengan cara mendapatkan 1/3 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
Metode ini adalah yang paling menguntungkan bagi kakek, dan metode inilah yang akan kita gunakan untuk mencari bagian seluruh ahli waris. Saudara perempuan sekandung mendapat 1/2 bagian, kakek mendapat 1/3 bagian, sedangkan sisanya diberikan kepada seorang saudara laki-laki seayah dan dua orang saudara perempuan seayah, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Nilai pembagi ditashih, dari 6 menjadi 24. Maka saudara perempuan sekandung mendapat 12/24 bagian, kakek mendapat 8/24 bagian, seorang saudara laki-laki seayah mendapat 2/24 dan dua orang saudara perempuan seayah mendapat 2/24, sehingga masing-masing saudara perempuan seayah mendapat 1/24.
Contoh 3
Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara laki-laki sekandung, dan seorang saudara perempuan seayah. Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Berhubung disini ada ashhabul furudh lainnya, maka kita harus menggunakan hukum kedua, bukan hukum pertama. Untuk menjawabnya kita harus tahu dahulu metode mana yang harus kita ambil agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
- Dengan metode pembagian:
Mari kita hitung jumlah kepalanya terlebih dahulu:
= Kakek + seorang saudara laki-laki sekandung + seorang saudara perempuan seayah
= 2 + 2 + 1
= 5
Maka ibu mendapat 1/6, kakek 2/6, dan seorang saudara laki-laki sekandung mendapat 3/6, karena saudara perempuan seayah terhalang oleh dia.
- Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Maka kakek akan menerima 1/3 dari 5/6, yakni 5/18. Kita lihat, nilai 5/18 lebih kecil dari nilai yang dihasilkan pada metode pertama diatas, yakni 2/6 atau 1/3. Maka kita tidak dapat menggunakan metode ini untuk mencari bagian waris seluruh ahli waris.
- Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
1/6 lebih kecil dari 2/6, maka kita tidak dapat menggunakan metode ini untuk mencari bagian waris seluruh ahli waris.
Bila kita lihat ketiga hasil diatas, maka akan tampak oleh kita bahwa yang lebih menguntungkan bagi kakek dalam hal ini adalah dengan metode pembagian, bukan dengan cara menerima 1/3 dari sisa harta waris setelah diambil ashhabul furudh, ataupun dengan cara menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris.
Contoh 4
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, kakek, saudara perempuan sekandung, dan dua orang saudara laki-laki seayah. Berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Berhubung disini ada ashhabul furudh lainnya, maka kita harus menggunakan hukum kedua, bukan hukum pertama. Selain itu, karena hanya ada seorang saudara perempuan sekandung tanpa ada satupun saudara laki-laki sekandung, maka saudara perempuan sekandung harus mendapat bagian 1/2 secara fardh, karena itu kita harus hati-hati dalam menentukan metode mana yang paling tepat agar kakek mendapatkan bagian yang paling menguntungkan buatnya.
- Dengan metode pembagian:
Mari kita hitung jumlah kepalanya terlebih dahulu:
= Kakek + seorang saudara perempuan sekandung + dua orang saudara laki-laki seayah
= 2 + 1 + 4
= 7
Maka ibu mendapat 1/6, kakek 2/7, seorang saudara perempuan sekandung mendapat 1/2 secara fardh, dan sisanya untuk dua orang saudara laki-laki seayah. Pembagi yang digunakan adalah 42, maka ibu mendapat 7/42, kakek 12/42, seorang saudara perempuan sekandung mendapat 21/42, dan sisanya 2/42 untuk dua orang saudara laki-laki seayah, sehingga masing-masing saudara laki-laki seayah mendapat 1/42.
- Dengan menerima 1/3 dari sisa harta waris yang ditinggalkan pewaris setelah diberikan kepada ashhabul furudh:
Ibu memperoleh 1/6 bagian, kakek 1/3 dari 5/6, yakni 5/18, dan saudara kandung perempuan mendapat 1/2, sedangkan bagian dua orang saudara laki-laki seayah sisanya. Maka ibu memperoleh 3/18 bagian, kakek 5/18, saudara kandung perempuan mendapat 9/18, dan dua orang saudara laki-laki seayah mendapat 1/18. Nilai pembagi harus ditashih lagi, dari 18 menjadi 36, karena jumlah saudara laki-laki seayah ada dua orang. Maka ibu memperoleh 6/36 bagian, kakek 10/36, saudara kandung perempuan mendapat 18/36, dan dua orang saudara laki-laki seayah mendapat 2/36, sehingga masing-masing saudara laki-laki seayah mendapat 1/36.
- Dengan menerima 1/6 dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris:
1/6 lebih kecil dari 10/36, maka kita tidak dapat menggunakan metode ini untuk mencari bagian waris seluruh ahli waris.
Dari ketiga metode diatas, manakah yang paling menguntungkan buat kakek? Mari kita check:
= 12/42 ? 10/36 ? 1/6
= 2/7 ? 5/18 ? 1/6 Diketahui KPK dari 7, 18, dan 6 adalah 126.
= 36/126 ? 35/126 ? 21/126
= Maka didapatkan, nilai yang terbesar adalah 36/126.
Setelah dibandingkan, ternyata yang paling besar adalah 36/126 (12/42 atau 2/7). Maka pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan metode pembagian, dan metode inilah yang digunakan dalam menentukan bagian waris buat kakek.
Hak Waris Saudara Seibu dan Keturunan Para Saudara Sekandung ataupun Seayah
Telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak waris anak-anak dan seluruh keturunannya dari para saudara sekandung ataupun seayah menjadi gugur karena adanya kakek. Misalnya, bila seseorang meninggal dan hanya meninggalkan kakek serta anak dari saudara sekandung ataupun saudara seayah pewaris, maka seluruh warisannya menjadi hak kakek. Jadi hanya saudara sekandung atau seayah saja yang memungkinkan untuk mendapat bagian waris ketika bersama dengan kakek, namun seluruh keturunan mereka terhalang dengan adanya kakek.
Begitu juga, apabila pewaris hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek. Sebab, seperti yang telah disepakati seluruh imam mujtahid, kakek dapat menggugurkan hak waris saudara seibu. Hak waris saudara seibu hanyalah bila terjadi kondisi kalalah, yakni pewaris tidak mempunyai pokok (ayah, kakek dan seterusnya ke atas) dan tidak pula mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya ke bawah).
Masalah al-Akdariyah
Masalah al-akdariyah adalah masalah waris antara kakek dan saudara perempuan sekandung, dimana disana terdapat pula suami dan ibu. Istilah al-akdariyah ini muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari bani Akdar. Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-akdariyah, yang artinya “kotor” atau “mengotori”, disebabkan masalah ini dianggap mengotori madzhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang telah dipuji Rasulullah akan kemahirannya dalam ilmu faraid). Hal ini karena beliau memvonis masalah waris ini dengan melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari kaidah-kaidah faraid yang masyhur.
Permasalahannya adalah: seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu, kakek, dan seorang saudara perempuan sekandung. Apabila berpegang pada kaidah yang telah disepakati seluruh fuqaha, termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit sendiri, maka pembagiannya adalah dengan menggugurkan hak saudara perempuan sekandung, karena disana sudah tidak ada sisa harta waris. Sebab, suami mendapat 1/2 bagian, ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya hanya 1/6 yang tidak lain sebagai bagian kakek yang tidak mungkin digugurkan, karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab itu, sudah semestinya bagian saudara perempuan sekandung digugurkan karena tidak ada sisa harta waris.
Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada. Dia memberi saudara sekandung 1/2 bagian, dan menaikkan (meng-‘aul-kan) pembaginya dari 6 menjadi 9. Kemudian ia menyatukan hak saudara perempuan sekandung dengan saham kakek, dan membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita. Setelah ditashih, pembaginya menjadi 27, sehingga pembagiannya adalah sebagai berikut: Suami mendapat 9/27, ibu 6/27, kakek 8/27, dan saudara perempuan sekandung 4/27. Perhatikan cara mencarinya sebagai berikut:
= Bagian suami + bagian ibu + bagian saudara perempuan sekandung + bagian kakek
Setelah melihat nilai diatas, maka pembagi harus di’aulkan dari 6 menjadi 9, agar hasilnya 1. Maka bagian suami 3/9, bagian ibu 2/9, bagian saudara perempuan sekandung 3/9, dan bagian kakek 1/9. Lalu bagian saudara perempuan sekandung 3/9 dan bagian kakek 1/9 ini dijumlahkan, yaitu 4/9. Kemudian nilai 4/9 ini dibagi dua antara mereka, dengan ketentuan bagian kakek dua kali lipat bagian untuk saudara perempuan sekandung. Maka karena 4 tidak bisa dibagi 3, nilai pembagi harus ditashih, dari 9 menjadi 27. Sehingga suami mendapat 9/27, ibu 6/27, kakek 8/27, dan saudara perempuan sekandung 4/27.
Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin Tsabit, sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam tersebut. Dalam masalah al-akdariyah ini sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada salah satu yang diubah, maka berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam.
Munasakhat dan At-Takharuj min at-Tarikah
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Definisi Munasakhat
• Tata Cara Perhitungan untuk Kasus Munasakhat
• Tata Cara Perhitungan untuk Kasus Munasakhat Bertingkat
• At-Takharuj min at-Tarikah
• Tata Cara Perhitungan untuk Kasus At-Takharuj min at-Tarikah
Definisi Munasakhat
Munasakhat menurut ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Dengan demikian, bisa saja dalam satu keadaan terdapat seorang pewaris (orang yang meninggal) yang meninggalkan beberapa ahli waris, lalu ada diantara mereka, salah seorang atau lebih yang juga meninggal dunia, dimana harta warisan belum dibagikan sama sekali kepada mereka semua. Maka dalam hal ini terdapat pewaris kesatu (orang yang meninggal dunia pertama kali) dan pewaris kedua, yakni orang yang meninggal dunia kemudian, dimana sebenarnya pewaris kedua ini adalah ahli waris dari pewaris kesatu. Masing-masing mereka, yakni pewaris kesatu memiliki ahli waris tersendiri (ahli waris kesatu) dan pewaris kedua memiliki ahli waris tersendiri juga (ahli waris kedua), dimana dalam hal ini terdapat tiga macam keadaan yang mungkin terjadi, yakni:
1. Ahli waris kedua adalah merupakan ahli waris dari pewaris pertama dengan tingkat kekerabatan yang sama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki. Kemudian salah seorang dari kelima anak laki-laki itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali saudaranya yang empat orang tersebut, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan kepada keempat anak laki-laki yang tersisa, seolah-olah ahli waris kedua yang meninggal itu tidak ada dari awalnya.
2. Ahli waris kedua adalah merupakan ahli waris dari pewaris pertama, namun tingkat kekerabatannya tidak sama, yakni ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal, berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara perempuan sekandung. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalangan ulama faraid disebut sebagai masalah jami'ah.
3. Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama, atau bisa juga sebagian ahli waris kedua termasuk sosok yang berhak untuk menerima hak waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan perhitungan berdasarkan teori jami’ah.
Tata Cara Perhitungan untuk Kasus Munasakhat
Dalam hal menghitung bagian masing-masing ahli waris untuk kasus munasakhat, terdapat 4 tahap yang harus dilakukan, yakni:
1. Menghitung bagian untuk seluruh ahli waris yang pertama dengan memberikan hak waris kepada setiap ahlinya, termasuk hak waris untuk ahli waris yang meninggal.
2. Menghitung bagian untuk ahli waris yang kedua dengan memberikan hak waris kepada setiap ahlinya, tanpa memperdulikan bagian ahli waris pertama diatas. Kemudian hasilnya dikalikan dengan bagian yang diterima oleh pewaris kedua.
3. Membandingkan pembagi antara ahli waris pertama dan ahli waris kedua, lalu disamakan sesuai dengan kelipatan persekutuan terkecilnya.
4. Menghitung bagian seluruh ahli waris (jami’ah, yakni ahli waris pertama dan kedua digabungkan) sesuai dengan pembagi yang sudah dihasilkan pada tahap 3 diatas.
Contoh 1
Seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara laki-laki sekandung. Kemudian salah seorang saudara perempuan sekandung itu meninggal, dimana ia tidak mempunyai ahli waris kecuali sebagaimana yang tertulis diatas. Maka berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Tahap pertama, kita hitung pembagian untuk ahli waris pertama sebagai berikut:
3 orang anak perempuan mendapat 2/3, dan sisanya 1/3 untuk dua saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara laki-laki sekandung. Pembagi ditashih dari 3 menjadi 36. Dengan demikian 3 orang anak perempuan mendapat 24/36, sehingga masing-masing anak perempuan mendapat 8/36. Kemudian sisanya 12/36 untuk dua saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara laki-laki sekandung, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 3/36, dan saudara laki-laki sekandung mendapat 6/36.
Tahap kedua, kita hitung bagian untuk ahli waris yang kedua sebagai berikut:
Pewaris kedua hanya meninggalkan ahli waris seorang saudara perempuan sekandung dan seorang saudara laki-laki sekandung, adapun 3 orang anak perempuan pewaris pertama terhalang. Bagian untuk seorang saudara perempuan sekandung dan seorang saudara laki-laki sekandung adalah 3/36, dengan demikian seorang saudara perempuan sekandung mendapat 1/36 dan seorang saudara laki-laki sekandung mendapat 2/36.
Tahap ketiga, kita lihat pembagi antara ahli waris pertama dan ahli waris kedua adalah sama, yakni 36. Karena itu abaikan tahap ini, dan langsung menuju ke tahap 4 dibawah ini.
Tahap keempat, kita hitung total bagian untuk semua ahli waris (jami’ah), yakni dari ahli waris yang pertama hingga ahli waris yang kedua sebagai berikut:
- Masing-masing anak perempuan mendapat 8/36
- Seorang saudara perempuan sekandung mendapat 3/36 + 1/36 = 4/36
- Seorang saudara laki-laki sekandung mendapat 6/36 + 2/36 = 8/36
Penting! Pembagian warisan diatas diambil hanya dari harta milik pewaris pertama. Seandainya pewaris kedua memiliki harta warisan tersendiri, maka ahli waris kedua mendapat bagian lain yang besarnya tidak dipengaruhi oleh ahli waris dari pewaris pertama. Yakni saudara perempuan sekandung mendapat 1/3 dan seorang saudara laki-laki sekandung mendapat 2/3, yang diambil dari harta warisan yang murni milik pewaris kedua (tanpa dicampur dengan bagian dari pewaris pertama). Jadi ahli waris dari pewaris kedua mendapat pembagian warisan sebanyak dua kali. Harap diingat hal ini, karena saya tidak akan memberitahukan lagi pada contoh soal berikutnya.
Contoh 2
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Kemudian cucu perempuan tersebut meninggal dengan meninggalkan suami, ibu, tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Maka berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Tahap pertama, kita hitung pembagian untuk ahli waris pertama sebagai berikut:
Istri mendapat 1/8, ayah mendapat 1/6, ibu mendapat 1/6, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat 1/2. Ternyata setelah dibagikan masih ada sisa, dimana yang berhak untuk mendapatkannya hanya ayah. Dengan demikian, pembagiannya adalah:
- Istri: 3/24
- Ayah: 4/24 + 1/24 = 5/24
- Ibu: 4/24
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: 12/24
Tahap kedua, kita hitung bagian untuk ahli waris yang kedua sebagai berikut:
Ayah, yang pada tahap pertama menjadi ahli waris pertama, maka pada tahap kedua ini ia berubah statusnya menjadi buyut (bapaknya kakek), yang mana ia berhak mendapat 1/6, karena buyut ini tidak ada yang menghalangi kecuali ayah dan kakek dari pewaris kedua, sedangkan ayah dan kakek dari pewaris kedua sudah tidak ada. Adapun istri menjadi nenek, dan ia terhalang oleh adanya ibu ahli waris kedua. Begitu juga ibu pada tahap pertama kini sudah berubah statusnya menjadi buyut, dan ia terhalang oleh adanya ibu pewaris kedua. Maka dapat diketahui bagian untuk:
- Ayah: 1/6
- Suami: 1/2
- Ibu: 1/6
- 3 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki mendapat sisanya: 5/12
Nilai pembagi 12 ditashih lagi menjadi 84, karena jumlah anak perempuan dan anak lelaki dianggap ada 7 (ingat, seorang laki-laki dianggap dua orang perempuan). Kemudian, hasilnya dikalikan dengan bagian yang diterima oleh pewaris kedua, yakni 12/24 atau 1/2. Maka kini pembagiannya menjadi:
- Ayah: 14/84 x 1/2 = 14/168
- Suami: 21/84 x 1/2 = 21/168
- Ibu: 14/84 x 1/2 = 14/168
- 3 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki mendapat sisanya: 35/84 x 1/2 = 35/168, sehingga masing-masing anak perempuan mendapat 5/168 dan masing-masing anak laki-laki mendapat 10/168.
Tahap ketiga, tentukan KPK dari 24 dan 168. Maka diketahui KPK nya adalah 168, karena ia dapat dibagi dengan bilangan 24 dan 168 tanpa menghasilkan sisa.
Tahap keempat, kita hitung total bagian untuk semua ahli waris (jami’ah), yakni dari ahli waris yang pertama hingga ahli waris yang kedua sebagai berikut:
- Istri: 3/24 x 7/7 = 21/168
- Ayah: 5/24 + 14/168 = 35/168 + 14/168 = 49/168
- Ibu (Ahli waris 1): 4/24 x 7/7 = 28/168
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: Tidak mendapat apa-apa, ahli warisnya-lah yang mendapat, dengan pembagiannya sebagai berikut:
Suami: 21/168
Ibu (Ahli waris 2): 14/168
Masing-masing anak perempuan mendapat 5/168 dan masing-masing anak laki-laki mendapat 10/168
Tata Cara Perhitungan untuk Kasus Munasakhat Bertingkat
Bisa saja terjadi dalam satu keadaan, seseorang wafat meninggalkan ahli waris tertentu. Lalu diantara ahli waris tersebut, ada yang meninggal, kemudian ada yang meninggal lagi, kemudian ada yang meninggal lagi, maka bagaimanakah mengatasi hal ini?
Maka jika terjadi hal seperti ini, kita tetap menggunakan cara seperti yang telah kita lakukan pada kasus munasakhat sebelumnya, kemudian pada tahap terakhir, kita samakan pembagi untuk setiap tahapnya.
Contoh 1
Seseorang wafat meninggalkan suami, saudara perempuan seibu, dan paman sekandung. Kemudian suami wafat dan meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ayah, dan ibu. Kemudian anak perempuan juga meninggal, meninggalkan nenek dari jalur ibu dan seorang anak laki-laki. Maka berapakah bagian masing-masing ahli warisnya?
Tahap pertama, kita hitung pembagian untuk ahli waris pertama sebagai berikut:
Suami mendapat 1/2, saudara perempuan seibu mendapat 1/6, dan paman sekandung mendapat sisanya. Dengan demikian, pembagiannya adalah sebagai berikut:
- Suami: 3/6
- Saudara perempuan seibu: 1/6
- Paman sekandung: 2/6
Tahap kedua, kita hitung bagian untuk ahli waris yang kedua sebagai berikut:
Anak perempuan mendapat 1/2, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat 1/6, ayah mendapat 1/6, dan ibu mendapat 1/6. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
- Anak perempuan: 3/6
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: 1/6
- Ayah: 1/6
- Ibu: 1/6
Hasil diatas harus dikalikan dengan bagian yang diterima oleh pewaris kedua, yakni 3/6 atau 1/2. Maka kini pembagiannya menjadi:
- Anak perempuan: 3/6 x 1/2 = 3/12
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: 1/6 x 1/2 = 1/12
- Ayah: 1/6 x 1/2 = 1/12
- Ibu: 1/6 x 1/2 = 1/12
Tahap ketiga, kita hitung bagian untuk ahli waris yang ketiga sebagai berikut:
Ayah pada tahap kedua, pada tahap ketiga ini berubah statusnya menjadi kakek shahih, dan ibu pada tahap kedua, pada tahap ketiga ini berubah statusnya menjadi nenek dari jalur ayah. Dengan demikian, bagian untuk nenek dari jalur ayah dan nenek dari jalur ibu adalah 1/6, dimana mereka bersekutu di dalam 1/6 tersebut. Kemudian kakek mendapat 1/6. Lalu sisanya (4/6) adalah bagian seorang anak laki-laki. Hasil mereka dikalikan lagi dengan bagian untuk anak perempuan pada tahap 2 diatas, yakni 3/12 atau 1/4. Maka kini pembagiannya menjadi:
- Nenek dari jalur ayah: 1/6 x 1/2 x 1/4 = 1/48
- Nenek dari jalur ibu: 1/6 x 1/2 x 1/4 = 1/48
- Kakek: 1/6 x 1/4 x 2/2 = 2/48
- Anak laki-laki: 4/6 x 1/4 x 2/2 = 8/48
Tahap keempat, tentukan KPK dari 6, 12 dan 48. Maka diketahui KPK nya adalah 48, karena ia dapat dibagi dengan bilangan 6, 12 dan 48 tanpa menghasilkan sisa.
Tahap kelima, kita hitung total bagian untuk semua ahli waris (jami’ah), yakni dari ahli waris yang pertama hingga ahli waris yang kedua sebagai berikut:
- Saudara perempuan seibu: 1/6 x 8/8 = 8/48
- Paman sekandung: 2/6 x 8/8 = 16/48
- Suami: Tidak mendapat apa-apa, ahli warisnya-lah yang mendapat, dengan pembagiannya sebagai berikut:
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki: 1/12 x 4/4 = 4/48
Ayah: (1/12 x 4/4) + 2/48 = 6/48
Ibu: 1/12 x 4/4 = 4/48
Anak perempuan: Tidak mendapat apa-apa, ahli warisnya-lah yang mendapat, dengan pembagiannya sebagai berikut:
• Nenek dari jalur ayah: 1/48
• Nenek dari jalur ibu: 1/48
• Anak laki-laki: 8/48
At-Takharuj min at-Tarikah
Yang dimaksud dengan at-takharuj min at-tarikah ialah:
- Pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagiannya secara syar'i. Dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.
- Dikeluarkannya sebagian harta waris, karena salah seorang dari ahli waris memintanya, kemudian ia bersedia menggantinya. Menurut syara', hal tersebut boleh dilakukan, jika seluruh ahli waris ridha.
Kasus seperti ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau "menggugurkan diri dari hak warisnya".
Tata Cara Perhitungan untuk Kasus At-Takharuj min at-Tarikah
Apabila salah seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri, atau menyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada dua cara yang dapat menjadi pilihannya, yaitu:
1. Ia menyatakan kepada seluruh ahli waris yang ada, bahwa ia mengundurkan diri, atau menyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, berikut dengan imbalan yang ia inginkan. Maka dalam hal ini, carilah pembaginya, kemudian keluarkanlah bagian ahli waris yang mengundurkan diri tersebut, sehingga seolah-olah ia telah menerima bagiannya, dan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa bagian yang ada itulah pembagi yang harus digunakan oleh sisa ahli waris.
2. Ia hanya memberitahukan kepada salah seorang dari ahli waris yang ditunjuknya dan bersepakat bersama. Maka dalam hal ini, pembagiannya hanya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi.
Contoh 1
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri. Pewaris tersebut meninggalkan harta warisan berupa sebuah rumah, dan uang sebanyak Rp.336.000.000,-. Kemudian istri menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil rumah, dan menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah Rp.336.000.000,- itu. Dengan demikian, warisan berupa uang tersebut hanya dibagikan kepada anak perempuan dan ayah.
Maka pembagian pada tahap pertama adalah sebagai berikut:
- Istri: 1/8
- Anak perempuan: 1/2
- Ayah: 1/6 + Sisa
Maka, setelah disamakan pembaginya, didapatkan pembagiannya adalah sebagai berikut:
- Istri: 3/24
- Anak perempuan: 12/24
- Ayah: 4/24 + 5/24 = 9/24
Dengan demikian, nilai 24 dikurangi bagian istri (3) adalah 21. Maka angka 21 inilah yang kita gunakan untuk menjadi pembagi buat anak perempuan dan anak. Sehingga, pembagian tahap kedua adalah sebagai berikut:
- Anak perempuan: 12/21
- Ayah: 9/21
Kemudian kalikan bagian diatas dengan harta waris yang ditinggalkan, yang dalam hal ini hanya uang sebesar Rp.336.000.000,-
Nilai per bagian adalah 336.000.000 : 21 = Rp.16.000.000,-
Bagian anak perempuan adalah 12 x 16.000.000 = Rp.192.000.000,-
Bagian ayah adalah 9 x 16.000.000 = Rp.144.000.000,-
Contoh 2
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada salah seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakati oleh keduanya. Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan kedua anak laki-laki, sedangkan bagian anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorang saudara laki-laki yang diberinya hak bagian. Pembagian semula adalah sebagai berikut:
- Istri: 1/8
- 2 anak laki laki dan seorang anak perempuan mendapat sisanya: 7/8, maka pembagi ini harus ditashih, yakni dikalikan 5 sehingga didapatkan pembagi baru adalah 40.
Setelah ditashih, maka pembagiannya adalah:
- Istri: 5/40
- Seorang anak laki laki (1): 14/40
- Seorang anak laki laki (2): 14/40
- Seorang anak perempuan: 7/40
Karena seluruh bagian anak perempuan diberikan kepada salah saudara leki-lakinya, maka disana ada penambahan bagian 7/40 untuk seorang anak laki-laki, sehingga bagiannya menjadi 21/40. Pembagian tahap akhirnya adalah sebagai berikut:
- Istri: 5/40
- Seorang anak laki laki (1): 14/40
- Seorang anak laki laki (2): 21/40
Hak Waris Dzawil Arham
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Definisi Dzawil Arham
• Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham
- Landasan Dalil Golongan Pertama
- Landasan Dalil Golongan Kedua
• Cara Pembagian Waris untuk Dzawil Arham
- Menurut Ahlur-Rahmi
- Menurut Ahlut-Tanzil
- Menurut Ahlul Qarabah
- Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah
- Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah
• Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham
- Beberapa Catatan Penting
Definisi Dzawil Arham
Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun/rahim, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna kerabat, baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam.
Adapun yang dimaksud dengan dzawil arham adalah setiap kerabat pewaris yang tidak termasuk ashhabul furudh dan ashabah, misalnya bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.
Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham
Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Golongan pertama berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau ashabah yang mengambilnya, maka harta warisan dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslimin untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.
2. Golongan kedua berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun ashabah yang menerima harta pewaris. Mereka berpendapat bahwa dzawil arham lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan baitulmal, sebab dzawil arham memiliki kekerabatan dengan pewaris. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.
Landasan Dalil Golongan Pertama
1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash dari Al-Qur'an atau as-Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil yang pasti dan kuat.
2. Dari hadits yang diriwayatkan Said bin Manshur, disebutkan bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi, baik dari garis ayah maupun dari ibu, beliau saw. menjawab, "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun." Hadits ini di-tahqiq oleh Habib al-A'zhamiy, dengan mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Marasil-nya dari jalur Abdullah bin Salamah dari Abdul Aziz bin Muhammad, seperti tersebut juga dalam kitab karya Baihaqi (VI/212).” Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, dzawil arham yang lain pun demikian.
3. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, yang ada bersama anak laki-¬laki dari saudara laki-laki sekandung, tidak berhak mendapatkan apa pun, hanya anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung yang men¬dapatkan warisan. Begitu pula bibi dari pihak ayah, yang ada bersama paman dari pihak ayah, tidak dapat menerima warisan. Terlebih lagi jika bibi hanya seorang diri (tidak bersama paman), ia tidak bisa mendapatkan warisan.
4. Dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar, baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para ashabahnya, bila diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya. Dengan demikian, baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan ashabahnya daripada para dzawil arham.
Landasan Dalil Golongan Kedua
Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu berdasarkan ayat Al-Qur'an, "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Disini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau hubungan darah.
Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat, siapa pun mereka, baik ashhabul furudh, para ashabah, atau selain dari keduanya, merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris daripada baitulmal.
Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain, "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisaa': 7). Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.
Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas telah menghapus kebiasaan pada awal munculnya Islam, dimana pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris.
Adapun dalil dari al-Hadits adalah ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir." Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.
Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para ashabah.
Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman dari pihak ibu, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda, "(Saudara laki-laki ibu) adalah ahli waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya. Dia juga yang membayarkan diyatnya dan mewarisnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Atsar ini, yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw., merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab sejarah.
Adapun secara logika, sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam, karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim.
Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara laki-laki sekandung dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara laki-laki sekandung. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah.
Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para ashabah.
Jadi jika kita melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan mengenai jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan.
Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih kuat dan akurat, karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini, yang mana sudah cukup sulit menemukan baitulmal yang benar-benar dikelola oleh jamaah, yang amanah, yang terjamin pengelolaannya, yang adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal.
Cara Pembagian Waris untuk Dzawil Arham
Di antara ulama fiqh terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat sebagai berikut:
Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah), bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.
Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Silahkan dipahami contoh-contoh sebagai berikut:
1. Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut:
- Cucu perempuan keturunan anak perempuan mendapat 1/2 bagian
- Keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung mendapat 1/2 bagian
- Keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian karena terhalang oleh keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung. Sebab keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung di sini sebagai ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara perempuan sekandung, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Kasus ini diibaratkan pewaris meninggalkan saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
- Keponakan perempuan keturunan saudara perempuan sekandung mendapatkan 1/2 bagian
- Keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat 1/6 sebagai penyempurna 2/3
- Keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 bagian secara fardh
- Sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan 1/6 bagian sebagai ashabah.
Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris yang tergolong ashhabul furudh dan ashabah.
Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya, maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu).
Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara perempuan sekandung. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka.
Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum, yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya, karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris, jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para ashabah telah dijelaskan. Maka tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.
Menurut Ahlul Qarabah
Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi. Menurut Ahlul Qarabah, hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para ashabah, berarti yang paling berhak diantara mereka (para ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham, mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris, yakni bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Keempat golongan tersebut adalah:
1. Orang-orang yang bernisbat kepada pewaris, yakni:
- Cucu dari keturunan anak perempuan, dan seterusnya ke bawah, baik laki-laki ataupun perempuan.
- Cicit dari keturunan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, baik laki-laki ataupun perempuan.
2. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris, yakni:
- Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya ke atas, seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
- Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya ke atas, seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.
3. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris, yakni:
- Keturunan saudara perempuan sekandung, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.
- Keturunan perempuan dari saudara laki-laki sekandung, atau seayah, seibu, dan seterusnya.
- Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.
4. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris, yakni:
- Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.
- Seluruh keturunan kelompok diatas.
- Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
- Seluruh keturunan kelompok diatas.
- Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi, baik dari ayah maupun ibu, dari kakek dan nenek.
- Seluruh keturunan kelompok diatas.
Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah
1. Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari ashabah bi nafsihi.
2. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah berdasarkan dekatnya keturunan dengan sang ahli waris ashhabul furudh atau ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan dasar ialah dekatnya dengan kekerabatan, dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul ashabah.
Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah
Telah dikemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan, dalam pembagian hak waris, dengan mengqiyas pada jalur ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.
Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham
1. Tidak ada ashhabul furudh. Sebab, jika ada ashhabul furudh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.
2. Tidak ada ashabah. Sebab ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada, bila ternyata tidak ada ashhabul furudh. Dan bila ada ashhabul furudh, maka para ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para ashhabul furudh.
3. Apabila ashhabul furudh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil arham. Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham.
Beberapa Catatan Penting
Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli waris, maka ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila bersamaaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:
1. Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, dengan anak cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan adalah cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya.
2. Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih berhak untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat ashhabul furudh atau ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris, keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai cucu. Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada pewaris lewat jalur ashhabul furudh, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan melalui dzawil arham.
3. Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung (yakni keponakan sekandung) dengan anak perempuan dari saudara laki-laki seayah (keponakan bukan sekandung), maka dalam keadaan seperti ini kita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti seluruh harta waris menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan kandung lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya.
4. Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak paman yang lain (sekandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini meninggalkan tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya dibagi secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat yang sama dari segi kekerabatan.
5. Aturan pemberian hak waris terhadap para dzawil arham adalah bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, sama seperti dalam pembagian para ashabah untuk anak laki-laki dan anak perempuan, sekalipun dzawil arham itu keturunan saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.
Hak Waris Banci
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Definisi Banci
• Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Banci
• Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya
• Beberapa Contoh Pembagian Hak Waris Banci
Definisi Banci
Definisi banci menurut para fuqaha ialah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita dalam satu tubuh, atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Jadi, yang dimaksud banci disini, bukan para banci laki-laki yang sering kita lihat di jalan-jalan, yang berprofesi sebagai penghibur, sebab mereka sebenarnya mempunyai jenis kelamin satu, hanya saja mereka bertingkah laku menyerupai wanita. Maka banci seperti ini dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana di dalam suatu hadits disebutkan, “Ada empat kelompok orang yang pada pagi dan petang hari dimurkai Allah. Para sahabat lalu bertanya, ‘Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?’ Beliau lalu menjawab, ‘Laki-laki yang menyerupai perempuan, perempuan yang menyerupai laki-laki, orang yang menyetubuhi hewan, dan orang-orang yang homoseks’.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani).
Setiap manusia yang normal seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan. Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya. Dengan adanya dua jenis kelamin pada seseorang, atau bahkan sama sekali tidak ada, disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia buang air kecil. Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa, yakni mimpi dengan mengeluarkan air mani. Apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.
Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Banci
Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil ini:
1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.
2. Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak bagian banci.
3. Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i.
Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya
Untuk banci, menurut pendapat yang paling rajih, hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya, yakni keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.
Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan ahli faraid adalah jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya paling sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata paling sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya.
Beberapa Contoh Pembagian Hak Waris Banci
1. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, dan seorang anak banci. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut, bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki-laki, maka pembaginya dari 5, sedangkan bila dianggap sebagai wanita maka pembaginya dari 4. Kemudian kita satukan antara dua pembagi tersebut, seperti dalam masalah al-munasakhat yang sudah kita pelajari sebelumnya. Maka didapat KPK dari 5 dan 4 adalah 20. Dengan demikian, bagian anak laki-laki adalah 8/20, sedangkan bagian anak perempuan 4/20, dan bagian anak banci 5/20. Nilai 5 ini didapat dari bagian terkecil untuk banci tersebut, dikali pembagi jami’ah dibagi pembagi awal, yakni 1 x (20/4) = 5. Sisa harta waris, yaitu 3, dibekukan untuk sementara hingga keadaannya secara nyata telah terbukti. Jika suatu saat ia terbukti sebagai laki-laki, maka sisa harta waris diberikan kepadanya. Dan jika ia perempuan, maka 2/20 untuk anak laki-laki, dan 1/20 untuk anak perempuan.
2. Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara sekandung banci. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut, bila banci itu dikategorikan sebagai wanita, maka pembaginya dari 6, kemudian di-'aul-kan menjadi 8. Sedangkan bila banci tersebut dianggap sebagai laki-laki, maka pembaginya dari 6 tanpa harus di-'aul-kan. Kemudian kita satukan antara dua pembagi tersebut, maka didapat KPK dari 8 dan 6 adalah 24. Dengan demikian, pembagiannya adalah: suami mendapat 9/24, ibu mendapat 6/24, damn saudara sekandung banci 4/24, lalu sisanya (5/24) dibekukan untuk sementara. Jika suatu saat ia terbukti sebagai laki-laki, maka sisa harta waris diberikan kepada suami dan ibu, dimana suami mendapat 3/24 dan ibu mendapat 2/24. Dan jika ia perempuan, maka ia mendapat seluruh sisa tersebut.
3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara seayah banci. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut, bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pembaginya 2, sedangkan bila dikategorikan sebagai perempuan maka pembaginya 7, dan KPK dari keduanya adalah 14. Bagian suami 6/14, saudara kandung perempuan 6/14, sedangkan yang banci belum diberikan haknya, karena sisanya, yakni 2/14 dibekukan untuk sementara. Jika suatu saat ia terbukti sebagai laki-laki, maka sisa harta waris diberikan kepada suami dan saudara kandung perempuan, dimana suami mendapat 1/14 dan saudara kandung perempuan mendapat 1/14. Dan jika ia perempuan, maka ia mendapat seluruh sisa tersebut.
Hak Waris Janin
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Definisi Janin
• Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
• Keadaan Janin
- Keadaan Pertama
- Keadaan Kedua
- Keadaan Ketiga
- Keadaan Keempat
- Keadaan Kelima
Definisi Janin
Janin menurut istilah fuqaha adalah janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu syarat bahwa seorang ahli waris dapat mewarisi harta pewaris adalah keberadaannya masih hidup ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih di dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir dengan selamat atau tidak, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, dan berjumlah satu atau kembar.
Seandainya bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan hidup pada saat pewaris wafat. Begitu juga jika ia lahir dalam keadaan mati, maka kita nyatakan bahwa ahli waris tidak ada ketika pewaris wafat. Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian waris yang harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus menunggu setelah bayi itu lahir.
Namun, bisa saja kita membagi-bagikan dahulu sebagian harta waris kepada seluruh ahli waris, dengan catatan jumlah harta waris yang dibagikan tersebut tidak seluruhnya, yakni ada yang kita bekukan sebagiannya agar ketika bayi tersebut lahir, ia mendapatkan hak warisnya secara sempurna, begitu juga dengan ahli waris lainnya. Jika bayi tersebut telah lahir, maka barulah kita bagikan kepada masing-masing ahli waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitan dengan hal ini, para ulama faraid menjelaskan hukum-hukum khusus secara rinci dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris yang ada.
Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat. Bayi tersebut dilahirkan maksimal 4 tahun setelah kematian pewaris, dan ibu yang mengandung tersebut tidak pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki lain selain pewaris wafat, hingga bayi tersebut lahir. Aisyah r.a. berpendapat bahwa janin tidak akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam falkah mighzal, sedangkan Imam Ahmad berpendapat maksimal 4 tahun. Namun menurut pendapat lain, jika setelah kematian pewaris tidak ada seorang laki-lakipun yang berhubungan intim dengan wanita tersebut, kemudian setelah 4 tahun tiba-tiba ia melahirkan bayinya, maka bayi tersebut adalah anak dari pewaris.
2. Bayi tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan. Tanda-tanda bahwa bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup diantaranya adalah bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusu ke ibunya, atau yang semacamnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Apabila seorang bayi sudah menangis, maka ia berhak mendapatkan warisan.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah) Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut. Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak, seperti gerakan hewan yang dipotong, maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR. An-Nasa'i dan Tirmidzi).
Keadaan Janin
Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
1. Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun perempuan.
2. Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin banci.
3. Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
4. Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan.
5. Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya karena adanya janin.
Keadaan Pertama
Jika janin tersebut bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun perempuan, maka seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris lainnya secara langsung, tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu pewaris. Maka dalam keadaan demikian, janin tersebut terhalang hak warisnya oleh adanya ayah pewaris. Dengan demikian harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istri sebesar 1/4, ibu 1/3 dari sisa setelah diambil hak istri, yakni 1/4, dan sisanya (2/4) menjadi bagian ayah sebagai ashabah.
Keadaan Kedua
Jika janin tersebut dapat mewarisi dalam keadaan memiliki kelamin tertentu (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin banci, maka sebagian tertentu harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagian tertentu dari harta waris dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya secara sempurna diberikan kepadanya dan kepada ahli waris lainnya. Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli waris yang ada.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman sekandung, dan istri saudara laki-laki sekandung yang sedang hamil. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut: istri mendapat 1/4, dan sisanya 3/4 dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan seluruh sisa harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai anak laki-laki keturunan saudara laki-laki sekandung, oleh karenanya ia lebih utama dibanding kedudukan paman kandung. Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak paman. Sebab anak perempuan keturunan saudara laki-laki sekandung termasuk dzawil arham.
Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya, hanya saja hak waris yang dimilikinya bisa berbeda-beda nilainya (hal tersebut tergantung dengan jenis kelaminnya), maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian daripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada paling sedikit dari bagian-bagian masing-masing.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya sebagai berikut: ibu 1/6, ayah 1/6, istri 1/8, dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai ashabah. Namun bila janin dikategorikan sebagai anak perempuan, berarti kedudukannya sebagai anak perempuan pewaris, dan pembagiannya sebagai berikut: ibu 1/6, ayah 1/6, istri 1/8, anak perempuan 1/2, dan sisanya 1/24 merupakan bagian ayah sebagai ashabah. Maka dari dua ilustrasi tersebut, kita lihat bagian untuk ibu, ayah, dan istri tidak pernah berubah baik janin tersebut laki-laki maupun perempuan. Maka mereka dapat mengambil bagiannya secara sempurna, sedangkan sisanya dibekukan sementara. Seandainya janin tersebut laki-laki maka ia akan mengambil seluruh sisa tersebut. Jika ia anak perempuan, maka ia akan mendapatkan 1/2 dari harta waris, sedangkan sisanya (1/24) adalah buat ayah.
Keadaan Keempat
Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada secara sempurna.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap 1/6, baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris sebesar 1/6, dalam kedua keadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan.
Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan tetapi terhalang haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dalam keadaan hidup, maka dialah yang akan mengambil seluruh harta waris, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris lainnya yang berhak untuk menerimanya.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dari anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan cabang ahli waris, baik ia sebagai laki-laki atau perempuan. Karenanya, janin terebut kelak jika lahir akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapatkan 1/2 harta waris yang ada, dan sisanya akan dibagikan kepadanya sebagai tambahan (ar-radd), sebab disana tidak ada ashabah lainnya.
Hak Waris Anak Hasil Zina dan Anak Li’an
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Anak yang Lahir karena Zina
• Anak Li'an
• Hak Waris untuk Anak yang Lahir karena Zina dan Anak Li'an
- Pendapat Pertama
- Pendapat Kedua
- Pendapat Ketiga
Anak yang Lahir karena Zina
Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan wanita. Anak yang lahir karena perbuatan zina, status keturunannya adalah hanya dari ibunya, bukan dari ayahnya, karena laki-laki yang menggaulinya bukan sebagai suaminya yang sah.
Untuk menentukan laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengannya, dapat dilakukan jika ada seorang laki-laki yang mengakuinya sebagai anak. Tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu tidak mengakuinya lahir dari perbuatan zina dengan ibu si anak. Maka dalam hal ini, anak itu dapat dinasabkan kepadanya, jika syarat-syaratnya terpenuhi.
Namun, jika laki-laki itu berkata dan mengakui bahwa anak itu adalah anaknya dari perbuatan zina, menurut jumhur ulama, anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya. Sebab, nasab atau keturunan adalah sebuah karunia, dan itu tidak bisa diperoleh dari perbuatan tercela. Akan tetapi, balasan yang sesuai untuk perbuatan zina adalah azab.
Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat lain, mereka berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan itu dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat mudharat, dan tidak terkena aib karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab, orang yang tidak berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Perbedaan pendapat itu terjadi karena wanita yang berzina itu, ketika hamil, tidak menjadi istri seseorang atau dalam masa 'iddah. Kalau wanita itu menjadi istri seseorang atau sedang dalam masa 'iddah, anak yang ada dalam kandungannya adalah anak suaminya, karena anak adalah milik orang yang mempunyai ranjang (suami). Oleh karena itu, pengakuan seseorang atas anak itu tidak bisa diterima. Ini merupakan ijma ulama.
Adapun dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, yaitu sabda Nabi saw. "Anak milik orang yang memiliki ranjang (suami) dan wanita pezina mendapatkan sanksi." Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim menakwilkan sebab Nabi saw. bersabda demikian, yakni karena terjadi perdebatan antara wanita pezina dengan pemilik ranjang (suaminya).
Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa pendapat jumhur ulama lebih kuat, karena ada riwayat lain dari 'Amr bin Syu'aib, yaitu Nabi saw. bersabda, "Lelaki mana pun yang berbuat zina dengan seorang wanita merdeka atau budak, maka anak yang lahir adalah anak zina, tidak bisa mewarisi atau diwarisi." (HR Turmudzi)
Dengan demikian anak hasil zina tidak bisa mewarisi dari ayahnya atau dari ibunya yang melakukan zina, dan juga dari kerabatnya, selain itu mereka juga tidak bisa mewarisi dari anak hasil zina tersebut. Syaukani berkata, "Demikian juga halnya dengan anak yang lahir karena perbuatan zina. Ini sudah disepakati. Harta warisnya diberikan untuk ibu dan kerabat ibunya."
Anak Li'an
Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari seorang istri yang sah, dimana suami tersebut tidak mengakuinya sebagai anaknya, karena suami tersebut telah menuduh sang istri telah berzina dengan lelaki lain. Sang suami telah bersumpah bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki lain di depan hakim, begitu pula istrinya telah bersumpah dengan tujuan membela diri, bahwa tuduhan suaminya adalah dusta. Maka jika sang istri mengandung, anak tersebut disebut sebagai anak li’an.
Li'an suami-istri disyariatkan dalam Islam, apabila suami menuduh istrinya berzina, atau suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya. Allah swt. berfirman, "Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]: 6-9)
Sebab turunnya ayat ini dan kekhususan hukum li'an kepada dua suami istri adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang menuduh wanita mukminah, yaitu, "Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur [24]: 4)
Terkait dengan permasalahan ini, ada satu riwayat yang cukup panjang, yakni sebagai berikut: Sa'ad bin Ubadah yang menjadi sesepuh orang Anshar berkata, "Apakah hanya seperti ini, wahai Rasulullah? (maksudnya adalah apakah solusinya hanya seperti tertera pada surat An-Nuur ayat 4 diatas, atau apakah tidak ada jalan lain)" Rasulullah saw. bersabda, "Apakah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh sesepuh kalian, wahai kaum Anshar?" Mereka menjawab, "Dia adalah manusia paling besar cemburunya. Demi Allah, dia hanya menikah satu kali dengan perempuan perawan dan dia tidak pernah mencerai istrinya. Dia lelaki paling berani menikahi perempuan perawan, karena cemburunya yang demikian besar itu."
Kemudian Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, aku yakin firman Allah itu benar, dan aku juga yakin ayat itu dari Allah. Namun, aku hanya merasa heran, seandainya aku menemukan pergelangan tangan (istri) diperkosa, aku tidak boleh berbuat apa-apa, tidak boleh membentak, dan tidak boleh mengusirnya sampai aku dapat menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah, jika aku menghadirkan mereka, pastilah pemerkosa itu telah memuaskan nafsunya."
Tidak berapa lama setelah kejadian itu, pada suatu sore, ketika Hilal bin Umayyah datang dari kampung halamannya, dia mendapati istrinya bersama seorang laki-laki. Dia melihat dan mendengarnya sendiri, namun dia tidak membentak atau mengusirnya sampai waktu pagi tiba.
Pagi itu juga, Hilal menemui Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, kemarin, ketika aku pulang di sore hari, aku mendapati istriku bersama seorang laki-laki. Aku melihat dan mendengarnya sendiri."
Mendengar cerita itu, Rasulullah tidak senang dan marah. Sa'ad bin Ubadah berkata, "Sekarang, Rasulullah mendapat contoh langsung dari peristiwa Hilal bin Umayyah. Kesaksian Hilal pun tidak dapat diterima oleh kaum muslimin."
Hilal berkata, "Aku berharap, Allah akan memberikan jalan keluar untukku." Kemudian Hilal berkata kembali, "Ya Rasulullah, aku mengerti engkau marah karena cerita yang aku sampaikan. Allah mengetahui bahwa aku berkata jujur."
Demi Allah, sesungguhnya, Rasulullah saw. ingin memberikan perintah agar Hilal didera, namun saat itu wahyu turun. Allah swt. berfirman, "Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]:6-9).
Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, "Bergembiralah, hai Hilal, Allah telah memberikan jalan keluar dan kelapangan." Hilal menyahut, "Sungguh, itulah yang aku harapkan dari Tuhanku."
Demikianlah asbabun nuzul turunnya ayat 6 hingga 9 dari surat An-Nuur di atas. Bentuk li'an, sebagaimana yang bisa kita ambil dari ayat di atas, adalah seorang laki-laki yang menuduh istrinya berbuat zina atau tidak mengakui bahwa anak itu sebagai keturunannya, atau menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya dan ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi. Kalau suami tetap pada tuduhannya, ia dituntut untuk bersaksi dengan nama Allah. Bentuk persaksiannya, yaitu bersumpah sebanyak empat kali bahwa apa yang dituduhkannya adalah benar. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima, jika tuduhannya bohong, laknat Allah akan menimpa dirinya.
Istrinya pun dapat terbebas dari tuduhannya, jika ia bersedia bersaksi sebanyak lima kali. Empat dari lima kesaksiannya berisi sumpah bahwa apa yang dituduhkan suaminya adalah bohong, dan pada kesaksian yang kelima dia harus mengucapkan bahwa jika apa yang dituduhkan suaminya benar, laknat Allah akan menimpa dirinya.
Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan, maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab pada ibunya. Anak inilah yang dinamakan anak li'an.
Hak Waris untuk Anak yang Lahir karena Zina dan Anak Li'an
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut:
Pendapat Pertama
Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali r.a..
Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.
Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan bahwa anak li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz VI, hlm.184)
Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6.
Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris: ibu, ayah, paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-radd). Hal ini disebabkan paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya terputus.
Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8, anak perempuan 1/2, dan sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama pokok atau cabang yang mewarisi.
Pendapat Kedua
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat diwarisi dengan cara ashabah. Ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya atau mereka yang mewarisi dari ibunya. Sebagian orang berkata, "Jika Anda ingin mengetahui ashabah anak li'an, lihatlah ashabah ibunya kalau ibunya wafat. Itulah yang menjadi ashabah anak li'an."
Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar pun berpendapat demikian. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari kalangan tabi'in, seperti 'Atha, Mujahid, an-Nakha'i, dan asy-Sya'bi. Hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini, "Ashabah-nya adalah ashabah ibunya."
Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, "Ibu mendapatkan bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak laki-laki atau istri si mayit. Jika si mayit mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi."
Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Nabi saw., "Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa, pertama-tama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat."
Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling dekat dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada ibunya, setelah bagian ashhabul furudh diberikan. Jikalau nasab anak li'an berpindah dari ayahnya kepada ibunya, maka berpindah juga ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat ibu.
Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah.
Jika seorang anak li’an wafat, meninggalkan ibu dan paman dari pihak ibu, maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu mendapatkan 2/3 sebagai ashabah.
Pendapat Ketiga
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah ibunya karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orang tua, yakni ayah dan ibu. Jika tidak ada ibu, ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibu. Pendapat ini juga disampaikan oleh beberapa tabi'in, di antaranya Hasan dan Ibnu Sirin.
Di sini ada perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab sebelumnya. Pada pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah ibunya.
Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang menjadi ashabah ibunya sebagai ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina, dengan syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi ashabah-nya, atau dengan kata lain, sang ibu akan mengambil seluruh harta warisan anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang pendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah saw., "Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang yang ditemukannya, dan warisan anak li'an-nya." (HR Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah, ibu pun mewarisi dari anak li'an-nya dengan cara ashabah juga, karena ibu sama derajatnya dengan ayah dan ibu si anak li'an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas pernah berkata, "Ibu anak li'an adalah ayah dan ibunya."
Dengan demikian, jika seorang anak li'an wafat meninggalkan istri, ibu, dan saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap, dan ibu mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan sekaligus sebagai ashabah. Apabila ibu tidak ada, istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap dan saudara perempuan mendapatkan sisa sebagai ashabah dan bagian tetap.
Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara pembagian yang demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut.
Setelah kita memaparkan beberapa pendapat ulama fiqih di atas, tampaklah bagi kita bahwa pendapat ketiga lebih kuat dan dapat diterima, karena memang asal nasab itu dari ayah. Apabila nasab dari pihak ayah terputus, maka secara otomatis seluruh nasabnya berpindah ke ibu, sebagaimana asal ketaatan itu untuk orang yang memerdekakan ayah, kalau ayah budak. Ketaatan dapat kembali berpindah ke ayah sebagai asal, jika ayah dimerdekakan setelah ketaatan pindah ke ibu.
Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah ibnu Mas'ud, Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Ibnul Qayyim berkata, “Berdasarkan pendapat di atas, Al-Qur'an telah menunjukkan dengan isyarat yang sangat indah dan halus. Allah menjadikan Isa dari anak-cucu Ibrahim lewat perantara Maryam, ibunya. Maryam pun berasal dari anak cucu Ibrahim. Jika ada yang bertanya, 'Kemudian, bagaimana dengan riwayat dari Sahl yang menjelaskan bahwa Sunnah yang berlaku adalah anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya dapat mewarisi darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?' Kita jawab, 'Kita terima itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan bagian yang telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang terkadang dapat mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu pasti mengambil bagian tetap-nya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan cara ashabah.'”
Hak Waris Orang Yang Hilang dan Tertawan
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Hukum Orang yang Hilang
• Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau Mati
• Hak Waris Orang Hilang
• Hak Waris Orang yang Tertawan
Hukum Orang yang Hilang
Orang yang hilang (mafquud) adalah orang yang tidak diketahui lagi hidup atau matinya, atau orang yang terputus beritanya, dan tidak diketahui dimana ia kini berada. Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang, diantaranya adalah:
- Istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan
- Hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum telah mati, dan qadhi (hakim) pun telah menetapkannya sebagai orang yang dianggap telah mati.
Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."
Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau Mati
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini terutama para ulama dari mazhab yang empat.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal rimbanya dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati dengan melihat orang yang sebaya di wilayahnya, yakni tempat dia tinggal. Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudah tidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal. Dalam riwayat lain, dari Abu Hanifah, menyatakan bahwa batasnya adalah sembilan puluh tahun.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah tujuh puluh tahun. Hal ini didasarkan pada lafazh hadits secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad saw. antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun.
Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilang di wilayah Islam, hingga tidak dikenal rimbanya, dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakim guna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dugaan yang dapat mengenali keberadaannya atau mendapatkan informasi secara jelas melalui sarana dan prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan buntu, maka sang hakim memberikan batas bagi istrinya selama empat puluh tahun untuk menunggu. Bila masa empat puluh tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan atau dikenali rimbanya, maka mulailah ia untuk menghitung idahnya sebagaimana lazimnya istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Bila usai masa idahnya, maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi.
Sedangkan dalam mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilang adalah sembilan puluh tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebaya di wilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi'i ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi, cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi'i, seorang hakim hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak lagi dikenal rimbanya sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu.
Sementara itu, mazhab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalam keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan, atau menjadi salah seorang penumpang kapal yang tenggelam, maka hendaknya dicari kejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah empat tahun belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa idahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa idah yang dijalaninya selesai.
Namun, apabila hilangnya orang itu bukan dalam kemungkinan meninggal, seperti pergi untuk berniaga, melancong, atau untuk menuntut ilmu, maka Imam Ahmad dalam hal ini memiliki dua pendapat. Pertama, menunggu sampai diperkirakan umurnya mencapai sembilan puluh tahun Sebab sebagian besar umur manusia tidak mencapai atau tidak melebihi sembilan puluh tahun. Kedua, menyerahkan seluruhnya kepada ijtihad hakim. Kapan saja hakim menetapkannya, maka itulah yang berlaku.
Pendapat Imam Hambali dalam hal ini lebih rajih (lebih kuat), dan pendapat inilah yang dipilih az-Zaila'i (salah seorang ulama mazhab Hanafi) dan disepakati oleh banyak ulama lainnya. Sebab, memang tidak tepat jika hal ini hanya disandarkan pada batas waktu tertentu, dengan alasan berbedanya keadaan wilayah dan penduduknya. Misalnya, orang yang hilang pada saat peperangan dan pertempuran, atau banyak perampok dan penjahat, akan berbeda halnya dengan orang yang hilang bukan dalam keadaan yang demikian. Karena itu, dalam hal ini ijtihad dan usaha seorang hakim sangat berperan guna mencari kemungkinan dan tanda-tanda kuat yang dapat menuntunnya kepada vonis, apakah orang hilang tersebut masih hidup atau sudah mati. Inilah pendapat yang lebih mendekatkan kepada wujud kemaslahatan.
Hak Waris Orang Hilang
Apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan diantara ahli warisnya ada yang hilang dan tidak dikenal lagi rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan:
1. Ahli waris yang hilang tersebut sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya (yakni termasuk ashabah tanpa ada satupun ashhabul furudh yang berhak untuk mendapat bagian).
2. Ahli waris yang hilang tersebut bukan sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya, bahkan ia sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni termasuk ashhabul furudh).
Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan peninggalan pewaris dibekukan, yakni tidak diberikan kepada ahli waris, untuk sementara hingga ahli waris yang hilang tersebut muncul atau diketahui hidup dan tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih hidup, maka dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta warisnya. Namun, bila ternyata hakim telah menetapkannya sebagai orang yang telah mati, maka harta waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada dan masing-masing mendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya.
Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit di antara dua keadaan (yakni keadaan hidup dan matinya) orang yang hilang. Bila ahli waris yang ada, siapa saja di antara mereka yang dalam dua keadaan orang yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara sempurna. Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang tadi, maka mereka diberi lebih sedikit di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.
Contoh 1
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung, dan anak laki-laki yang hilang. Posisi anak laki-laki, seandainya ia masih hidup, maka ia merupakan penghalang bagi saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung. Karena itu, seluruh harta waris yang ada untuk sementara dibekukan hingga anak laki-laki yang hilang telah muncul. Dan bila ternyata telah mati atau telah divonis oleh hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka barulah harta waris tadi dibagikan untuk ahli waris yang ada.
Contoh 2
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, saudara laki-laki seayah, dan saudara laki-laki sekandung yang hilang. Dalam keadaan demikian, bagian istri adalah 1/4, ibu 1/6, dan sisanya (yakni 1/6) untuk sementara dibekukan hingga ahli waris yang hilang telah nyata benar keadaannya, atau telah divonis sebagai orang yang sudah meninggal. Jika ia masih hidup, maka saudara laki-laki seayah tidak mendapat hak waris apa pun. Namun, jika ia telah meninggal atau divonis telah meninggal oleh hakim, maka untuk ibu 1/3 dan saudara laki-laki seayah sisanya (5/12). Sebab, bila ahli waris yang hilang tadi telah divonis hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka ibu akan mendapat bagian 1/3.
Contoh 3
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, dua orang saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki sekandung yang hilang. Maka bagaimanakah pembagian warisnya?
Dalam hal ini kita harus membuat dua cara pembagian, yang pertama dalam kategori orang yang hilang tadi dianggap masih hidup, dan yang kedua dalam kategori ia dianggap sudah meninggal. Kemudian kita satukan kedua cara tadi. Dari sinilah kita keluarkan hak waris masing-masing, kemudian membekukan sisanya.
Jika orang yang hilang tadi dianggap masih hidup, maka suami mendapat 1/2, dua orang saudara perempuan sekandung dan saudara laki-laki sekandung mendapat sisanya, dengan ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian untuk perempuan. Dengan demikian, suami mendapat 4/8, dua orang saudara perempuan sekandung mendapat 2/8, dan saudara laki-laki sekandung mendapat 2/8.
Namun jika orang yang hilang tadi dianggap sudah meninggal, maka suami mendapat 1/2, dua orang saudara perempuan sekandung mendapat 1/2, dan saudara laki-laki sekandung tidak mendapat apa-apa, karena ia sudah meninggal.
Kita satukan antara dua pembagi dalam dua kategori tersebut, seperti dalam masalah al-munasakhat yang sudah kita pelajari sebelumnya. Maka didapat KPK dari 8 dan 2 adalah 8. Dengan demikian, bagian suami adalah 4/8, dua orang saudara perempuan sekandung mendapat 2/8, sehingga masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 1/8. Sisanya, yakni 2/8 kita bekukan. Jika suatu saat orang yang hilang tadi ternyata masih hidup, maka sisanya ini untuk dia. Dan jika ia ternyata telah meninggal, atau mendapat keputusan telah meninggal oleh hakim, maka sisanya untuk dua orang saudara perempuan sekandung, dimana masing-masing mendapat 1/8.
Hak Waris Orang yang Tertawan
Keadaan orang yang tertawan hampir sama dengan keadaan orang yang hilang. Oleh karena itu, para ulama ilmu faraid juga membahas persoalan warisan orang yang tertawan setelah memaparkan masalah orang yang hilang.
Orang yang tertawan (al-asir) adalah orang yang tertangkap oleh musuh dan ditawan di wilayah perang. Kabar mengenai dirinya tidak bisa diketahui dan kerabatnya pun tidak mengetahui, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Juga tidak diketahui, apakah ia masih beragama Islam atau tidak.
Apabila keadaan orang yang ditawan itu bisa diketahui, masih hidup serta masih beragama Islam, maka ia diproses sesuai ketentuan, karena di mana pun seorang muslim berada, ia berhak mewarisi dan diwarisi selama syarat-syarat mewarisi ada padanya, secara sempurna dan tidak ada orang yang dapat menghalanginya. Kendatipun saat ditawan ia dipaksa dijadikan budak, maka status budaknya tidak sah, sebab menurut jumhur ulama, seorang muslim tidak boleh dijadikan budak.
Apabila orang yang tertawan itu hidup, harta benda yang ia tinggalkan tetap menjadi miliknya dan ia bisa mewarisi dari orang lain. Apabila ia telah wafat dan dapat dibuktikan kematiannya, para ahli warisnya bisa mewarisi dari orang itu, terhitung sejak tanggal wafatnya. Jika hakim telah memutuskan bahwa orang yang ditawan itu telah meninggal berdasarkan perkiraan yang kuat, harta warisnya dapat diserahkan kepada ahli warisnya yang hidup, saat keputusan itu dikeluarkan.
Namun jika keadaan orang yang ditawan tersebut tidak diketahui dalam keadaan hidup atau mati, maka ia diperlakukan seperti orang hilang dengan segala ketentuannya, dan caranya telah saya jelaskan pada sub bab sebelum ini. Silahkan dipelajari contoh-contohnya pada sub bab “Hak Waris Orang Hilang”.
Hak Waris Orang yang Mengalami Kematian Bersama
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Tata Cara Pembagian Waris untuk Orang yang Mengalami Kematian Bersama
Yang dimaksud dengan orang yang mengalami kematian bersama adalah orang-orang yang dapat saling waris-mewarisi (memiliki hubungan kerabat), dimana mereka mengalami kecelakaan dalam satu waktu bersamaan, bisa disebabkan karena bencana alam, kebakaran, tabrakan kendaraan, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, tenggelam, tertimbun, ataupun hal-hal lainnya.
Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris untuk orang yang mengalami kematian bersama adalah dengan cara menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu pertama kali dan yang meninggal kemudian. Hal ini bisa diketahui dengan cara bertanya kepada orang yang menyaksikan, atau adanya salah seorang atau lebih dari mereka yang selamat dari bencana tersebut yang menyaksikan siapa yang paling dulu meninggal, lalu siapa yang hidup kemudian walaupun hidupnya itu hanya sesaat saja. Jika memang keadaannya demikian, pembagian waris akan lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak. Dan begitulah seterusnya.
Namun jika diketahui bahwa mereka meninggal sekaligus, maka mereka tidak dapat saling waris-mewarisi, karena syarat menerima warisan adalah ahli waris dalam keadaan hidup ketika si pemilik harta meninggal, baik meninggal yang hakiki ataupun yang dihukumkan sudah meninggal. Dan syarat ini tidak ada pada kejadian di atas.
Begitu pula, jika kita tidak mengetahui bagaimana kematian itu terjadi, apakah ia berurutan atau sekaligus, atau bisa jadi kita mengetahui bahwa mereka meninggal secara beruntun, hanya saja tidak diketahui dengan jelas siapa yang lebih dahulu, atau kita mengetahui siapa yang terakhir, hanya kita lupa siapa orangnya, maka terhadap keadaan-keadaan seperti ini, menurut imam yang tiga tidak dapat saling mewarisi. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, jika kita atau saksi lupa urutan siapa yang meninggal pertama dan siapa yang meninggal kemudian, hingga yang meninggal paling terakhir, maka perkara seperti ini harus ditunda dahulu hingga teringat atau saling berdamai. Sedangkan menurut madzhab Imam Ahmad, apabila antara ahli waris berselisih pendapat siapa yang lebih dahulu meninggal sementara masing-masing tidak memiliki bukti, maka mereka harus saling bersumpah, seterusnya mereka tidak lagi saling mewarisi karena tidak ada faktor yang dapat menguatkan. Apabila tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli waris, maka masing-masing ahli waris mendapat bagian dari harta yang ditinggalkan tidak termasuk harta yang diterimanya sebagai warisan, hal itu demi mencegah terjadinya mata rantai yang tidak diketahui ujung pangkalnya.
Tata Cara Pembagian Waris untuk Orang yang Mengalami Kematian Bersama
Jadi menurut pendapat jumhur ulama, yang dapat saling mewarisi adalah orang-orang yang mati secara berurutan, dengan diketahui siapa yang mati pertama kali dan yang mati kemudian. Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka yang mati kemudian inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut para ulama ahli faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris. Tata cara pembagian waris untuk keadaan seperti ini sama dengan penanganan kasus munaskahat yang sudah dibahas pada bab sebelumnya.
Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: "Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya." Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.
Contoh 1
Dua orang kakak adik (sama-sama laki-laki) meninggal secara bersamaan karena kecelakaan, yakni kakak dan adik sama-sama meninggal seketika dalam waktu yang bersamaan, tanpa diketahui siapa yang pertama kali meninggal. Kakak meninggalkan istri, anak perempuan, dan anak laki-laki dari paman sekandung. Sedangkan adik meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki dari paman sekandung. Maka pembagiannya seperti berikut: Para ahli waris kakak, yakni istri mendapat 1/8 bagian, anak perempuan mendapat 1/2, dan sisanya untuk anak laki-laki dari paman sekandung sebagai ashabah. Sedangkan para ahli waris adik, yakni kedua anak perempuan mendapat 2/3, dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki dari paman sekandung sebagai ashabah.
Contoh 2
Dua orang kakak adik (sama-sama laki-laki) meninggal terkena bencana tsunami, dimana sang adik meninggal pertama kali, setengah jam kemudian disusul oleh sang kakak ikut pula meninggal. Sang adik meninggal dengan meninggalkan ahli waris seorang isteri, anak perempuan, saudara sekandung laki-laki yang meninggal bersamanya (sang kakak) dan paman seayah. Sementara si kakak meninggal dengan meninggalkan ahli waris dua orang anak perempuan dan paman seayah. Bagaimanakah pembagian warisnya?
Tahap pertama, kita hitung pembagian untuk ahli waris pertama sebagai berikut:
Isteri mendapat 1/8, anak perempuan mendapat 4/8, saudara sekandung laki-laki (sang kakak) mendapat 3/8, sedangkan paman seayah tidak mendapat apa-apa karena terhalang oleh saudara sekandung laki-laki.
Tahap kedua, kita hitung bagian untuk ahli waris yang kedua sebagai berikut:
Dua orang anak perempuan mendapat 2/3 dari 3/8 dan paman seayah mendapat 1/3 dari 3/8. Maka dua orang anak perempuan mendapat 6/24 dan paman seayah mendapat 3/24.
Tahap ketiga, tentukan KPK dari 8 dan 24. Maka diketahui KPK nya adalah 24, karena ia dapat dibagi dengan bilangan 8 dan 24 tanpa menghasilkan sisa.
Tahap keempat, kita hitung total bagian untuk semua ahli waris (jami’ah), yakni dari ahli waris yang pertama hingga ahli waris yang kedua sebagai berikut:
- Istri: 1/8 x 3/3 = 3/24
- Anak perempuan: 4/8 x 3/3 = 12/24
- Saudara sekandung laki-laki: Tidak mendapat apa-apa, ahli warisnya-lah yang mendapat, dengan pembagiannya sebagai berikut:
Dua orang anak perempuan: 6/24
Paman seayah: 3/24
Penting! Pembagian warisan diatas diambil hanya dari harta milik pewaris pertama. Seandainya pewaris kedua memiliki harta warisan tersendiri, maka ahli waris kedua mendapat bagian lain yang besarnya tidak dipengaruhi oleh ahli waris dari pewaris pertama. Yakni dua orang anak perempuan mendapat 2/3 dan paman seayah mendapat 1/3, yang diambil dari harta warisan yang murni milik pewaris kedua (tanpa dicampur dengan bagian dari pewaris pertama). Jadi ahli waris dari pewaris kedua mendapat pembagian warisan sebanyak dua kali.
Beberapa Pertanyaan Seputar Harta Warisan
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
• Bolehkah Memberi Harta Warisan Sekedarnya Kepada Kerabat, Anak Yatim dan Orang Miskin?
• Bagaimanakah Cara Membagi Harta Bawaan dan Harta Bersama Antara Suami Dan Istri?
• Apakah Anak Susuan Berhak Mendapat Warisan?
• Apakah Ibu Tiri, Ayah Tiri dan Anak Tiri Berhak Mendapat Warisan?
• Apakah Istri yang Sudah Ditalak Mendapatkan Waris?
• Bolehkah Membagi Harta Warisan Saat Pewaris Masih Hidup?
• Bolehkah Menunda Pembagian Harta Warisan?
• Bagaimana Membagi Harta Berjalan?
• Bolehkan Menetapkan Hukum Waris Berdasarkan Undang-Undang Negara/Adat?
• Bagaimana Membagi Harta Waris Selain Uang?
• Bolehkah Mencantumkan Pembagian Warisan Pada Surat Wasiat?
Bolehkah Memberi Harta Warisan Sekedarnya Kepada Kerabat, Anak Yatim dan Orang Miskin?
Allah swt. berfirman, “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (Surat 4. AN-NISAA' - Ayat 8).
Sebagaimana kita ketahui, yang berhak untuk mendapatkan bagian waris hanya orang tertentu saja, sedangkan kerabat lainnya terhalang untuk mendapatkan waris. Namun, walaupun kerabat lainnya itu terhalang, jika mereka hadir dalam acara pembagian harta warisan itu, sangat dianjurkan agar merekapun diberi bagian tertentu dari warisan yang ada, dengan jumlah sekedarnya, yang telah disepakati dahulu oleh orang-orang yang berhak mendapatkan warisan. Begitu pula, jika dalam acara pembagian tersebut hadir anak yatim dan orang miskin, hendaknya mereka diberi juga, sekedar untuk menyenangkan hati dan meringankan beban mereka. Apakah kita akan tega, jika mereka semua melihat pembagian harta warisan itu, sedangkan mereka tidak diberi sedikitpun dari harta warisan yang ada?
Di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an nya Sayyid Quthb disebutkan, “Mengenai ayat ini (ayat 8 surat an-Nisaa’) terdapat beberapa riwayat yang berbeda-beda dari para salaf. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat kewarisan yang menentukan batas-batas bagian tertentu untuk ahli waris (yakni ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisaa’). Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini muhkamat (berlaku hukumnya, tidak terhapus). Diantaranya lagi ada yang mengatakan bahwa petunjuk ayat ini adalah wajib, dan sebagiannya lagi berpendapat mustahab, untuk menyenangkan hati ahli waris. Akan tetapi, kami melihatnya muhkamat dan menunjukan hukum wajib (memberi bagian kepada ulul-qurba, kerabat yang bukan ahli waris), dalam kondisi-kondisi seperti yang kami sebutkan. Karena, melihat kemutlakan nashnya dari satu sisi, dan melihat pengarahan Islam yang bersifat umum tentang tanggung jawab sosial dari sisi lain. Hal ini merupakan urusan lain diluar bagian-bagian ahli waris yang sudah ditentukan besar kecilnya dalam ayat-ayat berikut dalam kondisi apapun.”
Lalu bagaimanakah jika ada kerabat yang tidak hadir dalam acara pembagian warisan itu, namun sebenarnya kerabat tersebut adalah orang miskin yang memerlukan pertolongan harta? Di dalam kitab Fatwa-fatwa Mutakhir, halaman 637-642, dengan penerbit Yayasan Al-Hamidiy, beberapa anak yang ditinggal mati ayah dan kakeknya, menyampaikan isi hatinya kepada Dr.Yusuf Al-Qardhawi yang kemudian dijawab oleh beliau.
Berikut ini adalah curahan hati anak-anak yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan kakeknya masih hidup: “Kepada Ustadz (Dr.Yusuf Al-Qardhawi) kami kemukakan suatu kesulitan dengan harapan akan menemukan pemecahannya dari Ustadz. Kami tiga orang bersaudara, yang terbesar berusia empat belas tahun. Ayah kami meninggal dunia dalam keadaan ayahnya (kakek) masih hidup. Beberapa lama kemudian kakek kami itupun meninggal dunia. Para paman kami (saudara-saudara lelaki ayah kami) melaksanakan pembagian harta waris peninggalan kakek. Mereka sama sekali tidak memberikan bagian kepada kami. Mereka mengatakan: Seorang anak lelaki jika ia meninggal dunia dalam keadaan ayahnya masih hidup, anak-anaknya yang ditinggal mati itu tidak berhak menerima bagian dari harta peninggalan kakek yang meninggal kemudian. Ini merupakan hukum syara’. Atas dasar itulah kami tidak memperoleh sedikitpun bagian dari harta yang ditinggal oleh kakek kami, sedangkan paman-paman kami berbagi harta waris demikian lahap. Padahal mereka itu orang-orang kaya, sedangkan kami anak-anak yatim, lagi miskin. Ibu kami yang malang itu terpaksa membanting tenaga dan memeras keringat mencari nafkah untuk membiayai penghidupan kami hingga kami besar dan dapat bersekolah. Tidak seorang pun dari paman-paman kami membantu dan turut membiayai kami. Apakah yang mereka katakan itu benar? Yaitu bahwa hukum syara’ tidak memberi hak kepada kami untuk mendapat dari harta peninggalan kakek kami? Bukankah kami ini ini anak-anak keturunan dan anak lelakinya (cucu-cucunya). Akibat dari ketentuan itu hanya ibu kami sendiri yang memikul beban membiayai penghidupan kami. Kami mengharap jawaban secukupnya disertai penjelasan untuk memecahkan persoalannya menurut ketentuan hukum syara’.”
Berikut ini akan saya kutip secara singkat jawaban dari Dr.Yusuf Al-Qardhawi:
Itu merupakan problem bagi seorang anak lelaki yang wafat dalam keadaan ayahnya masih hidup, dan meninggalkan anak-anak keturunan. Pada waktu kakek mereka meninggal dunia para paman dan para bibi mereka berbagi waris, sedangkan anak-anak yang mati ayahnya (kemanakan-kemanakan mereka atau cucu-cucu kakeknya) tidak mendapat bagian sama sekali.
Menurut kenyataan, dipandang dari sudut hukum waris itu memang benar, yaitu bahwa cucu tidak turut mewarisi harta peninggalan kakeknya selagi anak-anak lelaki kakeknya itu masih ada. Sebab hukum waris ditetapkan atas dasar kaidah-kaidah tertentu, antara lain adalah: Orang yang peringkat hubungan kekeluargaannya terdekat dengan pihak yang meninggal dunia, ia akan menyekat (meng-hijab) peringkat hubungan kekeluargaannya yang lebih jauh dari orang yang meninggal dunia. Dalam hal seorang ayah wafat meninggalkan beberapa orang anak lelaki dan sejumlah cucu, maka yang berhak mewarisi harta peninggalan orang yang wafat itu adalah anak-anak lelakinya, sedangkan cucunya tidak berhak turut mewarisinya. Sebab, anak peringkat hubungan kekeluargaan dengan ayah mereka lebih dekat daripada cucu. Antara ayah dan anak hanya ada satu peringkat, sedangkan antara kakek dan cucu terdapat dua peringkat, yakni ada perantara, yaitu ayah. Dalam hal demikian itu, maka cucu tidak mempunyai hak waris atas harta peninggalan kakeknya.
Akan tetapi apakah itu berarti cucu-cucu yang ditinggal mati kakek mereka itu sudah terjauhkan sama sekali dari hak waris, sehingga mereka tidak akan dapat menerima bagian sedikit pun? Problem itulah yang diatasi oleh hukum syara' dengan beberapa cara:
Cara pertama:
Sebelum wafat, kakek wajib mewasiatkan sebagian hartanya (yang tidak melebihi sepertiga harta miliknya) untuk cucu-cucu yang ditinggal wafat ayah mereka. Wasiat demikian, menurut sebagian ulama salaf, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Mereka berpendapat, bahwa wasiat merupakan suatu kewajiban (fardhu) yang tidak boleh diabaikan, dan harus diberikan kepada sejumlah kerabat, kepada pihak-pihak yang mengamalkan kebajikan, khususnya jika mereka itu tergolong kerabat dekat yang tidak mendapatkan hak waris. Wasiat harus diberikan atas dasar syarat, bahwa yang diberi wasiat bukan orang yang mempunyai hak waris. Mengenai itu Rasulullah s.a.w. telah menjelaskan: "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak apa yang menjadi haknya. Karenanya tiada wasiat untuk seorang ahli waris."
Cara kedua:
Sebagaimana telah disadari oleh hukum syara’, dirasa masih perlu diberikan cara pemecahan lain untuk mengatasi problem seperti yang ditanyakan. Yaitu pada saat para paman anak-anak yatim itu sedang membagi harta peninggalan ayah mereka yang telah wafat, hendaknya memberikan sebagian, walau sedikit, harta peninggalan itu kepada kemanakan-kemanakan mereka yang tidak berayah lagi. Demikianlah yang ditentukan dalam Al-Qur'an sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an: "Dan jika pada waktu pembagian itu hadir kerabat (yang tidak mempunyai hak waris), anak-anak yatim dan orang-orang miskin; berilah mereka sebagian dari harta (peninggalan) itu dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada mereka." (S. An-Nisa: 8).
Kita dapat membayangkan bagaimanakah kiranya jika pada waktu pembagian harta peninggalan itu mereka datang dan melihat sendiri berapa banyak masing-masing menerima bagian, sedangkan mereka tidak diberi sama sekali? Ayat suci tersebut mendahulukan kerabat, sebab mereka itu memang berhak, apalagi anak-anak yatim kemanakan sendiri, anak-anak keturunan saudara mereka sendiri juga! Karena itu wajarlah jika paman-paman mereka diwajibkan memberi kepada mereka jumlah yang disetujui bersama yang kiranya dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan, terutama sekali jika harta peninggalan cukup besar dan banyak.
Jika kakek itu sendiri sebelum wafat lupa atau kurang memperhatikan nasib cucu-cucunya yang malang, maka paman-paman mereka lah yang seharusnya tidak sampai melupakan kewajiban mengulurkan tangan mereka, sebab mereka adalah kerabat terdekat.
Cara ketiga:
Sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum syara', yakni perundang-undangan tentang pemberian nafkah menurut Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dari agama-agama yang lain ialah, Islam mewajibkan orang yamg hidup berkecukupan menolong kerabatnya yang hidup serba kekurangan, terutama sekali jika kedua belah pihak itu berhak saling mewarisi (yakni: yang satu merupakan ahli waris bagi yang lain secara timbal balik). Demikianlah menurut madzhab Hambali. Begitu pula jika yang satu merupakan muhrim bagi yang lain, demikian menurut madzhab Hanafi, seperti kemanakan misalnya.
Dalam hal-hal seperti itu maka memberi nafkah menjadi kewajiban pihak yang berkecukupan, kepada pihak yang serba kekurangan dan hidup menderita. Demikian yang akan diputuskan oleh Makamah Islam apabila problem seperti itu diajukan sebagai gugatan.
Islam tidak membiarkan seorang paman hidup berkecukupan mempunyai harta kekayaan, sedangkan kemanakan-kemanakan nya tidak mempunyai apa-apa dan dibiarkan begitu saja tanpa bartuan. Ibu mereka yang malang itu pun dibiarkan memeras keringat dan membanting tulang, sedangkan ia sendiri (paman itu) kaya dan hidup serba cukup. Itu tidak boleh terjadi menurut syariat Islam. Itulah antara lain yang membedakan Islam dari agama lain.
Bagaimanakah Cara Membagi Harta Bawaan dan Harta Bersama Antara Suami Dan Istri?
Harta bawaan adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri sebelum menikah, termasuk didalamnya hadiah, hibah serta warisan yang diterima dari pihak kerabatnya. Sedangkan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan isteri selama perkawinan, termasuk pula didalamnya hadiah, hibah serta warisan yang diterima dari pihak kerabatnya.
Islam sangat ketat dalam menentukan kepemilikan harta. Haram hukumnya mengambil harta orang lain tanpa seizinnya. Firman Allah, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Surat 2. AL BAQARAH - Ayat 188)
Karena itu, dalam membagi harta bawaan maupun harta bersama, harus diperhatikan agar batas-batas kepemilikian harta tersebut diatur terlebih dahulu, bahwa harta suami ada berapa dan harta istri ada berapa. Tidak boleh digabungkan kemudian dibagi warisannya secara sepihak.
Walaupun harta tersebut sudah didaftarkan atas nama suami atau atas nama istri, namun secara hakikat harta bersama memiliki kepemilikan yang terpisah. Jika dalam membeli sebuah rumah senilai 100 juta rupiah atas nama suami, dimana suami mengeluarkan 60 juta dan istri 40 juta, maka nilai kepemilikannya adalah, suami 60% dan istri 40%. Sampai kapanpun akan tetap demikian, walaupun kelak rumah tersebut akan bernilai tinggi, misalnya menjadi 1 milyar rupiah. Maka dalam hal ini suami menjadi memiliki saham 600 juta dan istri 400 juta. Dengan demikian, jika salah seorang dari suami atau istri meninggal, ia hanya boleh mewariskan harta miliknya saja. Jika ada hukum yang menetapkan bahwa harta bersama harus dibagi secara seimbang/sama-rata antara suami dan isteri (masing-masing 50%), walaupun mereka berpisah sebagai akibat dari perceraian atau kematian, maka hukum ini sangat bertentangan dengan hukum syariat Islam yang sangat menjaga kepemilikan harta antara suami dan istri, dan hukum ini tidak boleh diikuti oleh kita yang beragama Islam.
Permasalahannya adalah, tidak semua suami dan istri menghitung secara cermat harta miliknya sebelum dan selama perkawinan. Untuk melihat slip gaji dari pertama kali bekerja hingga sekarang pun tidak mudah, karena bisa jadi ia sudah beberapa kali berpindah-pindah kerja, dan bisa jadi slip gaji tersebut sudah tidak ada (hilang). Selain itu, selama pernikahan pasti ada pengeluaran lain yang tidak termasuk harta waris.
Penghasilan suami setiap bulan selalu dikurangi dengan biaya nafkah kepada istri dan anak, sedangkan istri tidak dikurangi dengan biaya nafkah, karena kewajiban memberi nafkah hanya ada pada suami. Karena itu, perlu ada sikap bijaksana antara suami dan istri. Bermusyawarah, berdiskusi dengan hati saling jujur, kemudian tentukan bagian harta suami dan istri saat ini dengan sama-sama ridho antara kedua belah pihak.
Sebenarnya cara yang terbaik adalah dengan mencatat setiap harta yang masuk dan keluar selama pernikahan, jadi akan jelas harta suami saat ini ada berapa, dan harta istri ada berapa. Namun jika tidak memungkinkan, kedua belah pihak harus saling sama-sama jujur dalam bermusyawarah dalam membagi harta masing-masing. Kedua belah pihak diharapkan sama-sama ridho dalam hal menerima hasil pembagian yang sudah disepakati bersama.
Apakah Anak Susuan Berhak Mendapat Warisan?
Anak susuan tidak berhak mendapatkan warisan dari ibu susuannya atau saudara sesusuan, kecuali jika ia termasuk kerabatnya yang memang berhak untuk mendapatkan warisan.
Apakah Ibu Tiri, Ayah Tiri dan Anak Tiri Berhak Mendapat Warisan?
Salah satu faktor bahwa seseorang berhak mendapatkan warisan adalah karena adanya ikatan pernikahan dan ikatan darah (kekerabatan). Karena itu, ibu tiri, ayah tiri dan anak tiri tidak mendapatkan warisan seandainya kita meninggal. Mereka hanya bisa mendapatkan harta melalui jual beli, hibah dan wasiat.
Apakah Istri yang Sudah Ditalak Mendapatkan Waris?
Sebelum membahas hal ini, harap diketahui dahulu bahwa talak itu sendiri ada yang berstatus raj’i (sewaktu-waktu bisa kembali) dan talak ba'in (tidak dapat kembali lagi). Selain itu, ada juga kondisi talak dalam keadaan sehat, dan talak dalam keadaan sakit keras.
Talak raj’i adalah suami yang mentalak istrinya dalam suatu pernikahan yang sah, baik yang sudah digauli atau belum, yang kurang dari tiga kali talak, dengan tanpa membayar mas kawin baru. Masa penungguan tersebut disebut juga masa ‘iddah raj’i. Talak raj’i tidak menjadi penghalang bagi suami istri untuk saling mewarisi, baik seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan sehat maupun sakit. Dengan demikian, hak suami-istri untuk saling mewarisi tidak hilang. Jadi, bila suami meninggal dunia, dengan meninggalkan istrinya yang sedang dalam masa ‘iddah raj’i, maka istrinya masih dapat mewarisi harta peninggalan suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami dapat mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dunia sebelum masa ‘iddah raj’i-nya berakhir. Para ulama tidak ada yang menyelisihi pendapat ini.
Adapun jika talaknya adalah talak ba'in (tidak dapat kembali) dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sehat, talak semacam ini dapat menghalangi hak waris-mewarisi. Dengan demikian, istri yang ditalak oleh suaminya, pada kondisi seperti ini, tidak dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, menurut kesepakatan para ulama. Hak itu karena putusnya ikatan perkawinan sejak talak dijatuhkan. Demikian pula suami, tidak dapat mewarisi harta peninggalan istri, bila istri meninggal dunia dalam kondisi seperti ini, karena sebab yang sama, yakni putusnya tali perkawinan, sehingga hak waris-mewarisi menjadi hilang.
Jika talaknya ba'in dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sakit keras, di mana dia tidak bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya, maka mereka juga tidak dapat saling waris mewarisi. Misalnya jika istri meminta khulu', kemudian suaminya mengabulkan, atau bila istri meminta talak tiga, kemudian suaminya mengabulkan permintaan tersebut. Para ulama sepakat, dalam kondisi yang demikian, tidak dapat saling mewarisi karena suami tidak bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya.
Jika talaknya adalah ba'in dan jatuh di saat penalaknya dalam keadaan sakit keras, di mana dia bermaksud menghilangkan hak mewarisi istrinya terhadap harta peninggalan, dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama, yaitu sebagai berikut.
1. Istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami secara mutlak karena sebelum kematian suami, talaknya sudah ba'in, sehingga hak mewarisi menjadi hilang, seperti halnya talak dalam keadaan sehat. Pendapat ini adalah sahih menurut kalangan Syafi'iyyah.
2. Istri dapat mewarisi harta peninggalan ketika mantan suaminya meninggal dunia selama ia masih dalam masa ‘iddah-nya. Namun, jika mantan suaminya meninggal dunia sedangkan masa ‘iddah-nya sudah berakhir, istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan suami. Sebab, dalam masa ‘iddah, tali perkawinan masih dianggap utuh. Hal inilah yang disamakan dengan talak raj’i. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Hanafiyyah.
3. Istri tetap dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, baik ketika suami meninggal dunia di saat istri dalam masa ‘iddah-nya atau masa ‘iddah-nya sudah selesai, maupun selama istri belum menikah dengan lelaki lain atau murtad. Sebab, istri dapat memperoleh warisan ketika suami dikeluarkan dari kelompok orang-orang yang mewarisi harta peninggalan istri. Makna ini tidak bisa hilang dengan berakhirnya masa ‘iddah, sebagai interaksi untuk suami dengan melawan maksudnya. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Hambaliyyah.
4. Istri dapat mewarisi harta peninggalan suami secara mutlak, baik ketika suami meninggal dunia dia masih berada dalam masa ‘iddah-nya atau sudah berakhir, maupun ketika dia sudah menikah dengan lelaki lain atau belum. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Malikiyyah.
Pendapat yang diunggulkan atau yang paling kuat (rajih) dari keempat pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali karena sahnya landasan yang mereka kemukakan terhadap sebab hak mewarisi bagi istri yang masih dalam masa ‘iddah dan setelah berakhirnya masa itu.
Pembatasan hak mewarisi istri dalam masa ‘iddah, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Hanafiyyah, adalah tidak beralasan, karena akibat talak ba'in itu dapat terjadi pada masa ‘iddah dan setelahnya. Namun, mereka memberikan hak mewarisi kepada istri sebagai imbalan interaksinya dengan suami sebelum talak dijatuhkan dan sebagai saddudz dzara-i (menghambat sesuatu yang menjadi sebab kerusakan).
Adapun memberikan hak waris kepada istri setelah dia menikah dengan lelaki lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh kalangan Malikiyyah, menyebabkan seorang istri dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami sekaligus. Hal ini bertentangan atau berbeda dengan ijma ulama yang berpendapat bahwa seorang istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami sekaligus dalam satu waktu.
Sedangkan pendapat kalangan Syafi'iyyah yang berbunyi bahwa secara mutlak istri tidak dapat mewarisi, bertentangan dengan ijma para sahabat. Setidaknya dengan Usman r.a. ketika dia memutuskan hak mewarisi bagi Tamadhir binti al-Ashbagh al-Kalabiyyah dari Abdurrahman bin Auf, yang telah mentalak ba'in istrinya dalam keadaan sakit keras. Keputusan ini sudah menyebar di kalangan sahabat, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya. Riwayat lain adalah dari Urwah yang mengatakan, “Sesungguhnya, Utsman berkata kepada Abdurrahman, 'Jika Anda meninggal dunia, aku akan mewariskan harta peninggalanmu kepada istrimu.' Abdurrahman menjawab, 'Aku sudah tahu hal itu.'”
Bolehkah Membagi Harta Warisan Saat Pewaris Masih Hidup?
Seandainya calon pewaris masih hidup, atau bahkan sudah sekarat, maka harta tersebut sepenuhnya masih miliknya 100%, tidak boleh dibagikan tanpa seizinnya. Jika ada pembagian harta dari orang yang hidup, maka itu adalah pembagian harta biasa (hibah) yang besarnya tidak ada ketetapannya di dalam Al-Qur’an dan Hadits, jadi harta tersebut tidak bisa disebut sebagai harta warisan.
Salah satu rukun waris adalah adanya ahli waris dan adanya pewaris (orang yang meninggal). Jika belum ada orang yang meninggal, maka tidak akan ada pembagian harta warisan. Yang dikhawatirkan adalah, bagaimana seandainya calon pewaris tersebut ternyata tidak jadi meninggal dunia? Misalnya ia ternyata masih dikarunia umur oleh Allah beberapa tahun lagi? Maka sungguh kasihan nasib calon pewaris tersebut, seandainya hartanya sudah habis dibagikan.
Hal ini seringkali terjadi di dalam masyarakat kita. Ini hanyalah pemberian dari seseorang kepada kerabat-kerabatnya, yang bisa jadi dimaksudkan agar tidak terjadi keributan ketika ia wafat nanti. Maka agar tidak terjadi keributan, hendaknya pewaris saat hidupnya mengajarkan ilmu faraid kepada kerabat-kerabatnya, minimal yang berkaitan dengan keadaannya, tidak perlu membahas terlalu detail. Sebab keributan itu umumnya karena mereka tidak mengetahui ilmunya, atau bisa juga karena faktor keserakahan. Karena itu, pewaris hendaknya memberikan pendidikan ilmu faraid ini kepada pihak-pihak yang kelak akan mendapatkan harta warisannya, semoga mereka akan menerima dengan sepenuhnya segala ketentuan pembagian waris yang telah ditetapkan syariat Islam.
Bolehkah Menunda Pembagian Harta Warisan?
Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setalah pewaris meninggal, tidak boleh ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan, misal karena rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang masih bayi/kecil, atau ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk sementara hingga diketahui keadaannya. Harta warisan adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, karena itu tidak boleh mengambil/menahan harta milik mereka. Segeralah ditunaikan jika mereka menginginkannya disegerakan, jangan sampai karena lama tidak dibagikan, akhirnya muncul kecurigaan dan kebencian dari para ahli waris, karena sesungguhnya mereka bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut.
Penundaan pembagian harta warisan seringkali terjadi manakala sang pewaris wafat masih meninggalkan istri, yakni ibu dari anak-anaknya. Maka anak-anak enggan atau merasa tidak enak untuk menyampaikan kepada ibunya tersebut, agar harta warisan segera dibagikan. Atau bisa juga karena sebab-sebab lainnya, misalnya ada salah satu rumah yang masih ditinggali oleh kerabatnya yang lain. Untuk itu, perlu adanya sikap bijaksana juga dari sang ibu, sesungguhnya harta warisan itu memang milik dan hak para ahli warisnya, diantaranya anak-anaknya. Orang yang paling dihormati tersebut diharapkan memberi pengertian ilmu faraid kepada mereka semua agar tidak terjadi perselisihan.
Bagaimana Membagi Harta Berjalan?
Harta berjalan, seperti rumah/kamar kontrakan yang disewakan, kios/toko, asuransi, tunjangan pensiun, perusahaan, saham, dan lain-lain milik pewaris adalah termasuk harta warisan yang juga harus dibagikan kepada ahli warisnya. Hanya saja caranya bisa berbeda-beda. Bisa langsung dijual, kemudian dibagikan kepada ahli warisnya sesuai syariat Islam. Atau bisa juga terus dikelola, lalu keuntungannya dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Satu hal yang harus dicatat, seluruh ahli waris tersebut harus sepakat/menyetujuinya.
Dalam hal ini, tidak ada dalil yang menyatakan bahwa harta berjalan harus dijual terlebih dahulu, jadi boleh para ahli warisnya mengelolanya hingga keturunannya nanti turut melestarikannya, itupun jika mereka sepakat/menyetujuinya. Di Indonesia ini cukup banyak usaha/perusahaan milik keluarga, dan salah satunya yang cukup besar adalah PT. Sinar Sosro.
Namun jika dikhawatirkan akan adanya khianat dan penyia-nyiaan amanah dari salah seorang atau sebagian ahli waris terhadap harta berjalan tersebut, maka sebaiknya dijual saja, kemudian dibagikan kepada seluruh ahli warisnya. Adapun mengenai harta diam, seperti uang, emas, mobil, motor, rumah, dan lain-lain, harus segera dibagikan kepada para ahli warisnya, dan tidak boleh ditahan-tahan pembagiannya kecuali jika ada alasan/sebab khusus.
Bolehkan Menetapkan Hukum Waris Berdasarkan Undang-Undang Negara/Adat?
Bagi orang yang beragama Islam, haram hukumnya menetapkan hukum waris secara negara/adat, jika memang ia bertentangan dengan hukum waris berdasarkan syariat Islam. Hanya Allah saja yang berhak menetapkan pembagian harta warisan ini, tidak boleh para raja, presiden, pemerintah, sesepuh, ataupun ketua adat menetapkan hukum waris ini jika bertentangan dengan syariat Islam.
Firman Allah, “(Hukum-hukum mengenai pembagian waris tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Surat 4. AN NISAA' - Ayat 13,14)
Ayat ini disebutkan setelah membahas mengenai ayat-ayat waris, dan jika dikaji dari ayat ini, maka dapat kita pahami bahwa kita tidak boleh menetapkan tata cara pembagian warisan tanpa berlandaskan kepada hukum-hukum waris yang sudah Allah tetapkan tersebut.
Bagaimana Membagi Harta Waris Selain Uang?
Membagi harta selain uang, misalnya motor, akan terasa sulit jika ia masih berupa motor. Mengapa? Karena tidak mungkin kita memotong-motong fisik motor tersebut, agar masing-masing ahli waris mendapat bagiannya secara adil. Tentu saja hal seperti ini tidak mungkin. Maka cara yang termudah adalah hendaknya motor tersebut dijual terlebih dahulu, lalu uangnya dibagikan sesuai dengan hukum waris Islam.
Jika kita memiliki harta selain uang, seperti emas, mobil, motor, rumah, dan lain-lain, maka supaya harta tersebut dapat dibagikan dengan adil dan mudah, ia harus dijual terlebih dahulu, karena lebih mudah membagikan harta berupa uang daripada harta diam seperti itu. Namun, jika memang memungkinkan, misal harta tersebut berupa tanah, dan para ahli waris pun sama sepakat untuk mendiami/membangun di tanah tersebut, maka tidak perlu dijual. Tanah tersebut dapat diukur terlebih dahulu, lalu masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya sesuai dengan ketetapan Islam.
Cara lainnya, jika ada sebagian atau salah seorang ahli waris ada yang menginginkan harta selain uang tersebut, maka ia dapat membayar nilainya (membelinya), lalu uang hasil pembayaran tersebut dibagikan kepada ahli waris yang ada. Dalam hal ini, tidak ada paksaan bahwa harta tersebut harus dijual atau tidak, tergantung dengan kesepakatan para ahli warisnya, dan harap diperhatikan pula unsur keadilan dan kemudahannya, agar tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Bolehkah Mencantumkan Pembagian Warisan Pada Surat Wasiat?
Boleh mencantumkan pembagian warisan pada surat wasiat, bahkan dianjurkan jika para ahli waris belum memahami ilmu faraid. Misal, pada surat wasiat kita tuliskan pada point tertentu pembagian untuk istri 1/8, untuk ayah 1/6, untuk ibu 1/6, dan sisanya untuk anak-anak kita, dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan. Jika kita tidak menuliskannya, dikhawatirkan mereka akan membagikan harta warisan bukan berdasarkan syariat Islam. Namun jika para ahli waris sudah paham akan ilmu faraid, dan mereka memang bersungguh-sungguh hendak melaksanakannya, tidak dituliskan juga tidak apa-apa.
Daftar Pustaka
• Efendi, Sofyan, 2007. Al-Qur’an Database XP 4.0. Perpustakaan OPI (http://opi.110mb.com/), Bekasi.
• Efendi, Sofyan, 2007. HaditsWeb 3.0. Perpustakaan OPI (http://opi.110mb.com/), Bekasi.
• Ash-Shabuni, Muhammad Ali, 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Gema Insani Press, Jakarta.
• Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, 2004. Hukum Waris – Terlengkap. Senayan Abadi Publishing, Jakarta.
• Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih, 2006. Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah yang Shahih. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor.
• Sabiq, Sayyid, 1987. Fikih Sunnah. PT.Alma’arif, Bandung.
• Quthb, Sayyid, 2001. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an – Di Bawah Naungan Al-Qur’an. Gema Insani Press, Jakarta.
• Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 2003. Ringkasan Shahih Bukhari. Gema Insani Press, Jakarta.
• Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 2005. Ringkasan Shahih Muslim. Gema Insani Press, Jakarta.
• Al-Math, Dr.Muhammad Faiz, 1991. 1100 Hadits Terpilih – Sinar Ajaran Muhammad. Gema Insani Press, Jakarta.
• Al-Qardhawi, Dr.Yusuf, 1995. Fatwa-Fatwa Mutakhir. Yayasan Al-Hamidiy, Jakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar